Logo SitusEnergi
Turkiye dan China, Dua Negara Yang Ekonominya Bakal Semakin Melejit Turkiye dan China, Dua Negara Yang Ekonominya Bakal Semakin Melejit
Oleh : Ir. Jumadis Abda MM, MEng Menarik kita simak perang Rusia Vs Ukraina. Dua negara bertetangga dan sama-sama pernah bersatu dalam era Sovyiet... Turkiye dan China, Dua Negara Yang Ekonominya Bakal Semakin Melejit

Oleh : Ir. Jumadis Abda MM, MEng

Menarik kita simak perang Rusia Vs Ukraina. Dua negara bertetangga dan sama-sama pernah bersatu dalam era Sovyiet dulu.

Kita tidak mengupas terlalu dalam bagaimana mereka sampai bertikai. Yang kita bahas tidak lebih dampak yang ditimbulkan akibat sengketa itu.

Tak dapat dimungkiri sengketa Rusia Ukraina tidak terlepas dari dua kepentingan raksasa kekuatan dunia. Rusia dan Barat. Rusia dalam satu sisi bukan saja mempunyai daerah yang sangat luas. Hampir 1/8 dari luas bumi ini. Tidak saja karena itu Rusia juga punya kekayaan alam yang melimpah. Bahkan Rusia adalah eksportir minyak nomor dua di dunia setelah Arab Saudi. Lebih kurang 7 juta barrel per hari volume ekspornya.

Tidak saja crude oil, energi lain yang diekspor Rusia ke negara lain adalah natural gas. Energi murah, bersih dan akrab lingkungan. Tidak kurang 40% negara Eropa mendapatkan suplai energi murah dan bersih ini dari Rusia. Melalui pipa North Stream 1. Bila tidak ada konflik Rusia- Ukraina itu maka sudah dapat dipastikan akan ada tambahan kapasitas gas alam yang akan mengalir ke Eropa itu melalui pipa North Stream 2 yang sedang dibangun yang sejak lama ditentang Amerika itu.

Setelah perang Rusia – Ukraina berkecamuk, yang dilatarbelakangi agresivitas barat (baca : Amerika) terhadap Rusia. Dimulai dari penggulingan pemerintah yang sah di Kiev yang cenderung ke Moskow sehingga Ukraina akhirnya terpecah 2014, sampai upaya Barat memasukan Ukraina ke dalam NATO. Yang nota bene NATO adalah blok pertahanan negara-negara barat, yang jelas saingan Rusia sejak Uni Sovyet.

BACA JUGA   Beredar Informasi Perombakan Struktur Organisasi Pertamina: Simon Tetap, Wiko dan Salyadi Diganti?

Inilah yang pada akhirnya membuat Rusia mengamuk lepas kesabarannya sehingga mau tak mau menginvasi Ukraina sejak 24 Februari 2022 yang lalu. Memunculkan blok pemihak, penolak serta ‘netral” pada ke dua Negara.

Ukraina jelas secara terbuka didukung oleh Barat yang dikomandoi Amerika. Sedangkan Eropa pada awal mulanya agak terbagi dua. Secara garis besar yang mendukung total Ukraina dan yang mendukung Ukraina ‘mendua’. Alias setengah-setengah. Amerika dan Inggris adalah 2 negara pendukung utama, sedangkan Jerman, Perancis dan juga negara-negara Eropa lain cenderung hanya setengah hati. Hal ini terlihat dari keenganan mereka mengirimkan persenjataan ke Ukraina saat awal-awal perang. Namun karena desakan Amerika, saat ini sudah masuk terlalu dalam ‘pendukung’ Ukraina. Hal ini menurut hemat penulis tidak terlepas dari posisi mereka sebagai anggota Uni Eropa dan sekaligus anggota NATO yang dikomandoi Amerika.

Jerman misalnya, walau sangat berpengaruh terhadap perekonomiannya, Jerman akhirnya ikut-ikutan, serta melakukan pembatasan terhadap kebutuhan dasar energi mereka yang diterima dari Rusia. Alasan yang dikampanyekan Amerika adalah mengurangi kemampuan Rusia untuk membiayai perang mereka di Ukraina. Namun apa yang terjadi, justeru Jerman dan negara-negara Eropa tsb yang paling besar menderita akibat dampak ‘pembatasan’ itu. Harga energi jadi mahal, industri-industri kepayahan berproduksi, inflasi meningkat dan masyarakat mereka yang semula mendapatkan kemudahan, kesejahteraan berangsur mulai kesulitan. Tidak sedikit warga mereka yang akhirnya mendapatkan kesusahan hidup, jatuh miskin tidak dapat menutupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Sehingga wajar dalam satu channel you tube Youtuber pasangan Indonesia-Jerman, mereka bilang belum akan kembali ke Jerman karena pasti akan sulit memenuhi kebutuhan hidupnya di sana.

BACA JUGA   Elnusa Gandeng Keyfield Offshore, Perkuat Bisnis Maritim Migas Nasional

Nah apa yang terjadi dengan negara NATO lain seperti Turkiye. Salah satu negara NATO yang tidak mau mengikuti kemauan Amerika. Walau agak sedikit memihak Ukraina, mungkin karena Ukraina bekerjasama dengan Turkiye dalam pembuatan Drone tempur Bayraktar TB 2, namun Turkiye juga tidak mau memusuhi Rusia. Terbukti permintaan Amerika untuk mengirimkan persenjataan S-400 Rusia ke Ukraina yang diimpor Turkiye ditolak Erdogan. Bahkan ditengah perang berkecamuk, Putin, pemimpin Iran dan Erdogan bertemu di Teheran untuk menguatkan kerjasama tiga negara. Turkiye juga tidak mau latah melakukan pembatasan impor energi Rusia terutama gas alam. Alasannnya kalau Turkiye mengikuti kenginan Amerika tsb maka rakyat Turkiye yang akan jadi korban dan kelaparan. Erdogan tidak mau itu terjadi pada rakyatnya. Erdogan sangat lihai memanfaatkan kondisi tersebut untuk Turkiye, bahkan Turkiye dijadikan pusat gas alamnya Rusia.

Bayangkan dengan energi murah, bersih dan akrab lingkungan serta keunggulan-keunggulan lainnya yang didapat dari Rusia tersebut bisa dipastikan ke depan Turkiye akan semakin melejit ekonominya, pada saat yang sama juteru Eropa, seperti Jerman, Perancis dll yang semula dapat energi murah dan akrab lingkungan itu yang telah menjadikan mereka dengan ekonomi dan negara maju saat ini justeru sebaliknya. Mereka ‘terpaksa’ menggunakan energi mahal dan bahkan ‘mendustai’ kampanye mereka selama ini terkait green energy, justeru mereka balik menggunakan energi kotor batu bara saat ini.

Bagaimana dengan China?

Tidak berbeda dengan Turkiye, China juga mendapatkan durian runtuh dari konflik Rusia dan ‘Barat’ tsb. Gas alam yang sudah berkurang alirannya ke Eropa melalui pipa North Stream 1 ke Jerman tsb, perlahan mulai mencari negara penerima yang lain. China dan Rusia dalam berita terakhir saat ini sedang membangun pipa gas langsung dari Rusia ke China, melalui pipa gas Trans Siberia. Sudah bisa dibayangkan dalam beberapa tahun ke depan ekonomi China akan semakin meroket. Yang sudah raksasa saat ini.

BACA JUGA   Dari Rumah ke Langit: Perempuan-Perempuan Hebat Ini Jadi Inspirasi di Hari Kartini

Dengan energi murah, bersih dan akrab lingkungan tsb, biaya produksi produk-produknya akan semakin murah dan jelas akan semakin bersaing di pasar internasional. Ekonominya tentu akan semakin melejit pula.

Akibat konflik Rusia – Ukraina maka Eropa bisa dipastikan akan semakin menurun daya saing ekonominya. Turkiye dan China justeru kelihatan akan sebaliknya.

Bagaimana dengan Indonesia, sebagai penghasil gas alam walau tidak sebesar Rusia? Apakah masih akan tetap memprioritas energi murah nan akrab lingkungan tersebut untuk negara lain, seperti Singapore, China, Jepang, Korea dll.

Yang jelas 2023 ini kontrak ekspor gas alam ke Singapore melalui pipa dari dua sumber lapangan gas Grissik di Sumsel dan West Natuna akan berakhir, akankah akan diperpanjang?

Wallahualam… [•]

*) Penulis adalah mantan Ketua Umum SP PLN

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *