Logo SitusEnergi
Trilema Energi Indonesia: Jalan Tiga Simpang dan Sebatang Lilin yang Merana Trilema Energi Indonesia: Jalan Tiga Simpang dan Sebatang Lilin yang Merana
Oleh : Andi N Sommeng. Di negeri ini, energi bukan sekadar listrik yang menyala di rumah pejabat dan mati di rumah rakyat. Energi adalah... Trilema Energi Indonesia: Jalan Tiga Simpang dan Sebatang Lilin yang Merana

Oleh : Andi N Sommeng.

Di negeri ini, energi bukan sekadar listrik yang menyala di rumah pejabat dan mati di rumah rakyat. Energi adalah cerita panjang: dari ladang minyak di pinggiran Sumatera yang menyisakan luka, sampai kampung-kampung di Papua yang tetap gelap meski merdeka sudah lebih dari tujuh dekade. Di antara dua kutub itu, berdirilah kita—pemerintah, pengusaha, aktivis, dan warga biasa—dalam pusaran yang oleh orang-orang pintar di Davos disebut sebagai trilema energi: energy security, energy equity, dan energy sustainability.

Dan seperti biasa, kita ingin semuanya, tapi tak mau membayar harganya.

Mari kita mulai dari energy security – ketahanan energi. Dalam bahasa kampung, ini artinya: kalau kran gas dari luar negeri ditutup, kita masih bisa masak dan mobil tetap bisa jalan. Dan syukurlah, Indonesia masih bisa tidur tenang berkat satu sahabat lama: energi fosil, terutama batubara.

Seperti kawan lama yang tak cantik tapi setia, batubara selalu hadir saat dibutuhkan. Ia menopang lebih dari 60% pembangkitan listrik nasional. Ia murah, ia melimpah, dan ia tidak banyak protes. Bahkan ekspor batubara adalah penyelamat APBN—pahlawan devisa yang tak pernah ikut kampanye.

BACA JUGA   Dorong Talenta Pelaut Berdaya Saing Global, PIS Luncurkan Beasiswa dengan 7 Kampus Nasional

Tapi batubara juga punya sisi kelam. Ia menghangatkan rumah kita, tapi juga memanaskan bumi. Ia menciptakan lapangan kerja, tapi juga lubang-lubang bekas tambang yang seperti luka terbuka di tubuh Ibu Pertiwi. Singkatnya, batubara memberi makan, tapi juga merusak.

Begitu pula dengan BBM subsidi. Ia adalah simbol keadilan—bahwa tukang ojek di Gowa dan nelayan di Rote punya hak untuk membakar literan solar seperti bos-bos di SCBD. Energy equity katanya. Keadilan sosial, katanya.

Untungnya subsidi BBM?

Harga BBM murah, rakyat kecil bisa tetap bergerak.

Inflasi lebih terkendali.

Pemerintah terlihat peduli—setidaknya sampai kotak suara dibuka.

Tapi ruginya juga segunung:

APBN jebol, anggaran pendidikan dan kesehatan direm.

Konsumsi energi boros, karena harga tak mencerminkan realita.

Subsidi bocor ke kelas menengah yang senang antre pakai mobil mewah di SPBU subsidi.

Jangan lupakan satu hal: energi murah sering membuat kita lupa bahwa sumber dayanya terbatas. Kita mabuk murah, tapi pusing ketika tagihan lingkungan datang.

Kini semua orang berlomba bicara transisi. Maka lahirlah jargon indah: energy sustainability. Semua ingin hijau. Ada yang minta PLTS, ada yang ingin mobil listrik, bahkan ada yang berseru: tinggalkan batu bara sekarang juga!

BACA JUGA   Swasembada Energi atau Reshuffle! Pesan Tegas Prabowo di Forum Internasional

Tapi hei, siapa yang berani melepaskan si setia batubara, jika belum ada penggantinya? PLTS belum mampu memasok beban dasar. Angin tak bisa ditiup seenaknya. Sementara rakyat butuh listrik, bukan janji. Industri butuh stabilitas, bukan eksperimen.

Di sinilah kita terjebak. Fossil fuel dan batubara menopang energy security dan equity, tapi juga menjadi duri yang menancap dalam pada keberlanjutan. Kita ingin selamat hari ini, tapi lupa menabung keselamatan untuk esok hari.

Seperti orang tua yang menyekolahkan anak dari hasil tebangan pohon—anaknya cerdas, tapi hutan habis.

Pertanyaannya: mungkinkah kita bisa merangkul ketiganya sekaligus? Atau ini hanya semacam kebajikan palsu, seperti orang ingin hidup sehat tapi masih merokok sambil jogging?

Trilema energi ini bukan sekadar persoalan teknis. Ini soal moral politik. Ini soal keberanian berkata bahwa tak semua subsidi baik. Soal keberanian melepaskan sandaran lama demi masa depan. Soal memilih jalan sulit agar kelak anak cucu tak hanya mewarisi krisis iklim dan tagihan hutang karbon.

Indonesia butuh lebih dari sekadar roadmap. Kita butuh courage map. Keberanian untuk melistriki desa terpencil meski tak menghasilkan suara. Keberanian untuk mengembangkan EBT meski belum populer. Dan keberanian paling besar: berkata jujur bahwa transisi energi bukan hanya soal panel surya dan baterai, tapi soal keadilan, komitmen, dan integritas.

BACA JUGA   Swasembada Energi Bukan Mimpi! PLN Serius Manfaatkan Gas Domestik

Trilema energi kita, pada akhirnya, bukan soal memilih satu dari tiga. Tapi soal meramu tiga dalam satu: energi yang aman, adil, dan lestari. Seperti meracik jamu: pahit, tapi menyembuhkan.

Namun, selama kita masih sibuk berdebat tentang siapa yang duduk di kursi Dewan Energi Nasional, alih-alih memperdebatkan bagaimana rakyat kecil bisa beli elpiji tanpa antre di pagi buta, maka jalan kita menuju solusi hanyalah lingkaran yang terus-menerus kita putari. Seperti lampu jalan yang nyalanya hanya terang saat ada kunjungan menteri.

Dan di tengah kegelapan itulah, sebatang lilin tetap menyala. Bukan dari PLN. Tapi dari harapan. [•]

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *