

Tinggalkan PLTU Batubara, ReforMiner Institute: Pemerintah Harus Hati-hati
MINERBA October 6, 2021 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, Situsenergi.com
PLTU Batubara yang selama ini menjadi pilihan utama untuk memproduksi listrik tidak lagi menjadi opsi dalam pembangunan pembangkit listrik di tanah air. Hal ini mengingat arah kebijakan energi nasional saat ini adalah transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan yang lebih bersih, minim emisi, dan ramah lingkungan.
Namun Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro meminta Pemerintah untuk tidak terburu-buru mengambil kebijakan seperti itu dan tatap berhati-hati dalam hal ini. Pasalnya, saat ini sekitar 60-70 % produksi listrik Indonesia masih menggunakan batubara.
“Saya kira pemerintah perlu hati-hati dalam hal ini. Apalagi saat ini ada sekitar 60-70 % produksi listrik Indonesia masih dari bahan bakar batubara,” kata Komaidi saat dihubungi Situsenergi.com, Rabu (06/10/2021).
Terkait pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk listrik menurut dia masih memiliki dua masalah utama yakni keberlanjutan pasokan dan tingkat harga yang belum cukup kompetitif.
“Pasokan EBT seperti PLTS dan PLTB (angin) umumnya sangat dipengaruhi cuaca. Sehingga aspek keberlanjutan relatif sulit diprediksi dan dikendalikan,” tukasnya.
“Kondisi tersebut tentu tidak baik bagi konsumen industri yang umumnya pasokan listriknya 24 jam dalam satu hari. Jika ada pemadaman sebentar saja tentu risikonya sangat besar,” pungkasnya.
Dihubungi terpisah, praktisi kelistrikan, Jumadis Abda mengakui bahwa kebijakan EBT sangat baik jika ditinjau dari isu polusi dan kenaikan CO2 yang menyebabkan pemanasan global.
“Karena hal itu akan berdampak kepada kenaikan permukaan air laut yang bakal menenggelamkan daerah-daerah rendah disepanjang pesisir tidak terkecuali Jakarta,” kata Jumadis.
Terkait dengan kelistrikan untuk pembangkit tenaga listrik, Jumadis yang ketika masih aktif lebih banyak berdinas di sejumlah pembangkit milik PLN ini menilai sebenarnya Indonesia lebih cocok menggunakan energi bersih berbasis gas alam.
“Sejak awal sebelum pembangunan 35.000 MW berbasis batubara itu, kita telah menyuarakan pembangkit berbahan bakar gas alam yang akrab lingkungan. Kita malah sempat demo ke SKK Migas dan KESDM. Juga sebagai nara sumber di Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas tahun 2014),” kata mantan Ketua Umum SP PLN ini.
Apalagi, lanjut dia, Indonesia punya kandungan gas alam yang melimpah, sehingga akan lebih baik jika gas alam yang bersih itu dioptimalkan pemanfaatannya di dalam negeri dari pada terus menerus diekspor murah ke negara lain, seperti ke Jepang, China, Korea, Malaysia maupun Singapura.
“Pembangkit gas alam jauh lebih unggul dari batubara. Disamping lebih akrab lingkungan (tidak polutif), juga investasinya lebih murah, kebutuhan lahan lebih sedikit, lebih cepat pembangunannya, bisa untuk beban puncak (mudah menyesuaikan terhadap denyutan beban), biaya pemeliharaan lebih murah dll,” paparnya.
Menurutnya, Indonesia perlu belajar ke negara lain, seperti Malaysia atau Amerika Serikat misalnya. Pasalnya di negara-negara tersebut komposisi (%) pembangkit berbahan bakar gas alamnya cukup tinggi.
“Kenapa kita tidak mau belajar dari mereka yang punya komposisi presentasi pembangkit berbahan bakar gas alam sudah cukup tinggi. Bahkan Singapura saya prediksi pembangkit listriknya 100 % menggunakan gas alam dari Indonesia,” tutup Jumadis.
Sayonara Energi Fosil
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif menegaskan bahwa pembangunan PLTU batu bara tak lagi menjadi opsi mengingat arah kebijakan energi nasional saat ini adalah transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan yang lebih bersih, minim emisi, dan ramah lingkungan.
“Pembangunan PLTU yang baru tidak lagi menjadi opsi kecuali yang saat ini sudah committed dan dalam tahap konstruksi. Hal ini juga untuk membuka peluang dan ruang cukup besar untuk pengembangan energi baru terbarukan,” ujarnya dalam sebuah webinar yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Menteri Arifin menjelaskan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik atau RUPTL 2021-2030 milik PT PLN (Persero) yang baru saja disahkan pada 28 September lalu, proyeksi penambahan kapasitas pembangkit energi fosil dalam 10 tahun ke depan hanya sebesar 19,6 gigawatt atau 48,4 persen.
Sementara itu rencana tambahan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan justru lebih besar mencapai 20,9 gigawatt atau sekitar 51,6 persen.
Dalam percepatan penambahan pembangkit sebesar 40,6 gigawatt selama satu dekade ke depan, pemerintah akan membuka peran perusahaan listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk pengembangan pembangkit berbasis energi baru terbarukan.
Menurut Arifin, arah kebijakan energi nasional telah sejalan dengan komitmen Indonesia pada Paris Agreement, yaitu penurunan emisi gas rumah kaca sesuai dengan National Determined Contribution (NDC) pada tahun 2030 sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.
“Saat ini komitmen untuk mengatasi perubahan iklim disikapi dengan road map menuju net zero emission,” tegasnya.
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa salah satu tantangan yang harus dihadapi menuju net zero emission adalah menyediakan listrik dari sumber energi yang rendah karbon.
Komitmen itu berdampak terhadap keharusan mengurangi dominasi fosil terutama batu bara pada sektor pembangkitan yang saat ini cukup besar, tapi memiliki harga yang relatif murah.
“Selain itu, industri juga dituntut untuk menggunakan energi yang rendah karbon agar produknya dapat diserap oleh pasar internasional,” demikian Arifin Tasrif.(SL)
No comments so far.
Be first to leave comment below.