Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Ada pihak yang mempersoalkan utang PLN, sampai memecahnya menjadi beban harian. Tidak salah, namun agak aneh (absurd) melakukan hal itu dan bisa menimbulkan disinformasi. Mengapa demikian? Sebab, utang korporasi tidak seperti utang dagang harian atau utang pribadi. Utang perusahaan terbagi sedikitnya atas dua (2) jenis, yaitu utang jangka panjang (investasi) dan utang jangka pendek (modal kerja). Sebaiknya, dasar kritik atas utang PLN menggunakan metode ilmiah ilmu manajemen keuangan dan bukan hanya opini atas angka.
Lagi pula, sejauh ini kinerja keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT PLN (Persero) pada semester I 2025 mencatatkan capaian yang positif. Total pendapatan yang berhasil diraih sejumlah Rp281 triliun dan capaian ini meningkat dibanding periode yang sama tahun 2024 yang hanya berjumlah Rp262 triliun. Pendapatan usaha PLN ini ditopang oleh penjualan tenaga listrik yang mencapai Rp179,58 triliun, atau naik sebesar 4,53% dibandingkan periode yang sama di semester I/2024 sebesar Rp171,80 triliun.
Selain itu, selama tahun 2024, PLN telah membukukan pendapatan sebesar Rp 545,4 triliun. Jumlah pendapatan tersebut meningkat sebesar 11,9 persen secara tahunan dibandingkan Rp487,38 triliun pada tahun sebelumnya (2023).
Bahkan, laba usaha PLN pada semester I 2025 dapat dicapai sejumlah Rp 30 triliun. Selisihnya berjumlah Rp2 triliun atau meningkat sebesar 7,1 persen dibandingkan periode sama ditahun lalu (semester I/2024) yang berjumlah Rp28 triliun.
Sementara itu, berdasar laporan keuangan dari publikasi BEI per Juni 2025, PLN tercatat memiliki harta kekayaan (asset) senilai Rp1.796,64 triliun. Jumlah harta kekayaan ini juga mengalami kenaikan dibanding Desember 2024, yang hanya sejumlah Rp1.772,37 triliun. Memang benar, bahwa PLN juga mencatatkan utang (liabiities) senilai Rp734,26 triliun per Juni 2025. Terdapat kenaikan utang dibanding periode Desember tahun lalu (2024) yang sejumlah Rp711,22 triliun.
Adapun, utang PLN per Juni 2025 itu terdiri dari utang jangka pendek sebesar Rp195,12 triliun dan utang jangka panjang sebesar Rp539,14 triliun. Jumlah ekuitas PLN per Juni 2025 mencapai Rp1.062,38 triliun. Angka ini pun naik dibanding Desember 2024 yang sebesar Rp1.061,16 triliun. Namun, rasio utang secara teori terhadap harta kekayaan (asset) PLN masih tergolong sehat, yaitu di bawah 50 persen. Termasuk rasio utang terhadap modal sendiri (ekuitas) sebesar 69,1 persen jauh lebih baik diatas angka minimal 25 persen.

Hanya saja, perlu menjadi perhatian pemerintah terkait beban usaha PLN yang terdiri dari bahan bakar dan pelumas sejumlah Rp 94 triliun, dan pembelian tenaga listrik Rp 91 triliun. Perlu penanganan dari luar manajemen PLN sebab ini berkaitan dengan transaksi jual-beli dan kebijakan Take Or Pay (TOP). Pemerintah harus memastikan, bahwa jual-beli energi primer di dalam negeri yang merupakan kebutuhan dasar PLN diwajibkan menggunakan mata uang Rupiah. Sebab, selisih kurs mata uang selalu menjadi beban BUMN, tidak hanya bagi PLN tetapi juga Pertamina dan BUMN lainnya. Hanya lembaga keuangan dan perbankan yang beroleh untung atas selisih kurs Rupiah terhadap mata uang asing, khususnya US dollar. [•]
Leave a comment