

Terkait Blok Corridor, KRKSDA Minta KPK Selidiki Menteri ESDM
ENERGI July 29, 2019 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, Situsenergy.com
Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan SDA (KRKSDA) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera melakukan penyelidikan terhadap pihak-pihak terkait atas kemungkinan adanya pelanggaran hukum, potensi KKN dan kerugian negara atas kebijakan tentang Perpanjangan dan Penetapan Ketentuan-Ketentuan Pokok Kontrak Kerja Sama (KKS) pada Wilayah Kerja (WK) Blok Corridor, Sumatera Selatan yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) No.128 K/10/MEM/2019 yang ditandatangani oleh Menteri ESDM, Ignasius Jonan beberapa waktu lalu.
“Padahal dengan adanya SK tersebut maka Pertamina sebagai BUMN migas nasional akan kehilangan kesempatan untuk mengelola Blok Corridor secara penuh, 100% sebagaimana telah diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945,” kata salah satu anggota KRKSDA, Marwan Batubara dalam keterangan persnya yang diterima Situsenergy.com di Jakarta, Senin (29/7).
Menurit Marwan, yang terjadi pada kasus Blok Corridor adalah pelanggaran konstitusi dan UU, serta berpotensi adanya kerugian keuangan negara dan penurunan tingkat ketahanan energi nasional. “Karena itu dalam kasus Blok Corridor, kami meminta KPK untuk bersikap sama dengan menulis surat kepada Presiden Jokowi guna terciptanya penegakan hukum dan mencegah terjadinya KKN,” tukasnya.
Seperti diketahui, karena adanya surat KPK kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu, Kementerian ESDM telah membatalkan perpanjangan kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Batu Bara (PKP2B) yang semula diberikan kepada PT Tanito Harum pada Januari 2019. KPK melakukan hal tersebut karena kebijakan Menteri ESDM Jonan melanggar UU Minerba No.4/2009.
“Kita tidak mengetahui apakah Presiden Jokowi mengikuti lahirnya kebijakan penting dan strategis berupa SK Menteri ESDM No.128 K/10/MEM/2019 tersebut. Namun, terlepas ada atau tidaknya laporan dari Menteri ESDM, tanggungjawab ditetapkannya suatu kebijakan pemerintah tetap berada di tangan Presiden,” tukasnya.
“Untuk itu, sebelum terlambat, kami kembali mengingatkan agar Presiden Jokowi segera membatalkan perpanjangan pengelolaan Blok Corridor kepada asing. Kami juga meminta agar KPK terlibat aktif melakukan penyelidikan kasus Blok Corridor, termasuk meminta Presiden Jokowi untuk membatalkan SK Menteri ESDM No.128 K/10/MEM/2019, dan menyerahkan 100% saham Blok Corridor kepada Pertamina,” tambah Marwan.
Pihaknya juga menduga, motif terbitnya Permen ESDM No.23/2018 dan Permen No.28/2018 dan No.03/2019 menyimpan misteri kemungkinan terjadinya korupsi dan perburuan rente melalui penunjukan langsung kontraktor KKS eksisting untuk melanjutkan pengelolaan suatu WK migas.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto pada sebuah kesempatan pernah mengungkapkan, bahwa produksi gas Blok Corridor akan stabil jika ditemukan tambahan cadangan. Saat ini, cadangan gas terbukti di blok ini tercatat sebanyak 4 triliun kaki kubik (TCF).
“Jika diasumsikan cadangan tersisa Blok Corridor sekitar 3 TCF dan harga rata-rata gas adalah US$ 8-10/mmbtu, maka potensi pendapatan kotor Blok Corridor (sebelum dipotong biaya eksploitasi) adalah sekitar US$ 24 – US$ 30 miliar atau sekitar Rp 336 – Rp 420 triliun, pada kurs Rp 14.000 per US$. Padahal, biaya akuisisi cadangan terbukti suatu blok migas umumnya berkisar antara 10% hingga 15% dari nilai cadangan terbukti. Oleh sebab itu, maka biaya akuisisi 100% cadangan Blok Corridor seharusnya adalah (10% – 15%) x US (24-30) miliar = US$ 2,4 miliar – US$ 4,5 miliar,” paparnya.
Ironisnya, kata dia, KESDM “membiarkan” kontraktor-kontrator asing yang akan menguasai 70% saham Blok Corridor (30% akan dikuasai Pertamina) dan cukup membayar 70% x US 250 juta = US$ 175 juta dalam bentuk signature bonus. “Tentu saja pembayaran ini sangat murah, kontraktor asing tersebut seperti mendapat durian runtuh. Namun kesediaan KESDM “bermurah hati” kepada kontraktor-kontraktor asing tersebut patut dipertanyakan dan diusut tuntas. Kami yakin KESDM bukan tidak faham tentang praktek-praktek yang berlaku umum di dunia migas dalam pelaksanaan akuisisi terhadap suatu blok migas yang telah dioperasikan,” tukasnya.
Sebagai pengingat bagi yang ingin menggunakan akal, lanjut dia, Indonesia harus membayar US$ 3,85 miliar kepada Freeport McMorant pada 2018 untuk mengakuisisi 42% saham PT Freeport. Pembayaran yang tinggi tersebut terutama didasarkan pada cadangan emas dan tembaga yang masih sangat besar, dan “diakui oleh pemerintah sesuai klaim” Freeport McMoran hingga 2041. “Barang berharga milik bangsa sendiri “bersedia dibayar sangat mahal oleh pemerintah” agar dapat dikelola oleh BUMN. Lalu mengapa untuk Blok Corrridor yang tidak memiliki masalah legal dan kisruh kontrak yang rumit seperti pada kontrak Freeport, tidak dapat dikuasai BUMN bangsa sendiri, dan malah diperpanjang KESDM untuk dikelola asing dengan harga sangat murah?” Tanya Marwan.
Menurut dia, hal-hal di atas menunjukkan seperti apa kinerja dan komitmen pemerintah untuk meningkatkan ketahanan dan kedaulatan energi nasional. “Bukan saja tidak mendukung dominasi BUMN untuk menjadi tuan di negara sendiri seperti menguasai 100% Blok Corridor, pemerintah malah terus memberi peluang kepada swasta dan asing untuk mengambil hak-hak dan porsi bisnis milik BUMN,” ketusnya.
BUMN, kata dia, telah menjadi korban kebijakan populis dalam program-program subsidi energi, BBM satu harga, bio energi, dll. Untuk dapat mengelola Blok Rokan pada 2021, pemerintah telah memaksa Pertamina membayar Rp 11 triliun pada 2018. Padahal penguasaan Blok Rokan adalah hak konstitusional Pertamina, tanpa harus membayar bonus.
“Memperhatikan berbagai anomali kebijakan di atas, maka guna mencegah terjadinya kerugian negara dan potensi KKN, kami juga menuntut agar DPR segera menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah, sekaligus meminta pembatalan perpanjangan kontrak Blok Corridor.” Demikian Marwan Batubara.(adi)
No comments so far.
Be first to leave comment below.