Logo SitusEnergi
Sudah Hukum Pasar, Kenaikan Harga Gas Industri Tak Bisa Diintervensi Sudah Hukum Pasar, Kenaikan Harga Gas Industri Tak Bisa Diintervensi
Jakarta, Situsenergy.com Ekonom Konstitus, Defiyan Cori mengatakan, PT. Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) harus tetap konsisten menerapkan kebijakan kenaikan harga gas industri sesuai rencana strategis... Sudah Hukum Pasar, Kenaikan Harga Gas Industri Tak Bisa Diintervensi

Jakarta, Situsenergy.com

Ekonom Konstitus, Defiyan Cori mengatakan, PT. Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) harus tetap konsisten menerapkan kebijakan kenaikan harga gas industri sesuai rencana strategis korporasi yang telah disusun. Sebab, dengan tingkat harga hulu gas yang berasal dari perusahaan swasta (nasional dan asing) sebagai penyuplai ke PGN telah mahal, tidak memungkinkan bagi PGN untuk menyediakan harga lebih rendah dari biaya produksi dan distribusinya.

“PGN adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dilindungi oleh konstitusi pasal 33 UUD 1945, dan oleh karena itu Pemerintah harus menjaga keberlanjutan pengelolaannya dengan prinsip-prinsip manajemen efisien dan efektif serta aman dalam melakukan aksi korporasi,” kata Defiyan dalam keterangan persnya yang diterima Situsenergy.com di Jakarta, Rabu (30/10).

Sebenarnya, kata dia, kenaikan harga produk baik itu barang atau jasa adalah soal biasa dalam terminologi korporasi dan pasar berkaitan dengan hukum permintaan dan penawaran. Maka itu, rencana kenaikan harga gas industri yang telah ditetapkan oleh PGN pada tanggal 1 Oktober 2019 tidak bisa dibatalkan begitu saja oleh curahan hati para pengusaha kepada Presiden. “Karena hal ini bisa menjadi preseden buruk dalam setiap pengambilan kebijakan kenaikan harga barang dan.atau jasa oleh korporasi BUMN lainnya dan juga oleh swasta,” ucapnya.

BACA JUGA   Ketahanan, Swasembada, dan Kemandirian Energi?

Padahal kata Defiyan, apa yang dilakukan PGN ini sebagaimana halnya anggota KADIN yang juga punya kewenangan (diskresi) dalam menetapkan harga produk, barang dan jasa yang mereka tawarkan kepada konsumen, tanpa bisa konsumen mengadukannya kepada Presiden. “Tentu saja, konsekuensi menaikkan harga barang dan jasa yang dilakukan akan dikompensasi dengan misalnya menurunnya permintaan atas barang dan jasa yang ditawarkan oleh para pengusaha. Namun, bagi para pengusaha yang menerapkan manajemen profesional, efisien dan efektif, ibarat pepatah, banyak jalan menuju Roma yang bisa ditempuh,” tandasnya.

Menurut Defiyan, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) harus memperhatikan dengan seksama kondisi industri hulu migas Indonesia, jangan sampai mengorbankan atau memberatkan kinerja korporasi dalam menghadapi tantangan persaingan pasar minyak dan gas bumi di masa depan. “Perlu kiranya bagi Kementerian ESDM untuk mengatur harga hulu gas industri agar dapat sesuai dengan Harga Pokok Produksi (HPP) yang diterima oleh PGN, sehingga PGN punya dasar dalam menetapkan harga gas industri,” tukasnya.

Dikatakan, penataan hulu migas Indonesia (termasuk pembangunan infrastrukturnya) menjadi hal mendesak untuk diperhatikan, terutama terkait harga hulu gas yang dibebankan pada PGN pada Tahun 2018 sudah sangat mahal. “Harga yang diberikan pada PGN  adalah $6-8 MMBtu, dibandingkan dengan harga gas di negara lain dalam kawasan ASEAN, seperti Thailand dan Malaysia yang lebih murah, yaitu hanya masing-masing sebesar $5,4-6,3 MMBtu dan $4,5-6 MMBtu,” katanya.

BACA JUGA   Trade-Off Penambangan Nikel di Kepulauan Raja Ampat: Antara Ekonomi, Sosial, Lingkungan, dan Pembangunan Berkelanjutan

Atas dasar itulah, lanjut dia, maka opsi menunda atau melakukan secara bertahap, bahkan menolak atau menunda kenaikan harga gas industri ini atas nama konstitusi ekonomi dan permasalahan hulu industri migas serta keberlanjutan PGN dalam mengemban misi negara untuk kemandirian ekonomi, mengatasi defisit migas dan APBN tidak bisa diterima akal sehat.

“Yang paling mungkin dilakukan oleh PGN adalah, mengarahkan subsidi pada kelompok yang tepat sasaran, atau beberapa industri yang memang harus memperoleh insentif dari pemerintah dalam rangka membuka lapangan kerja untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan serta memajukan perekonomian bangsa,” kata Defiyan.

Sebagaimana hal ini pernah disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menanggai kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh PT Pertamina, bahwa kenaikan BBM Itu murni kebijakan korporasi (corporate) yang dilakukan Pertamina, saat usai rapat dengan Komisi XI, di Gedung DPR, Jakarta, pada Hari Selasa tanggal 2 Juli 2018 yang lalu yang harus bebas dari intervensi politik.(adi)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *