

Subsidi Solar Yang Tak Tepat Sasaran Jadi Beban Pemerintah, Perlu Di Kaji Ulang
ENERGI August 22, 2019 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, situsenergy.com
Sekretraris Ikatan Sarjana Nahdhatul Ulama (ISNU) M Kholid Syeirazi , dalam FGD tentang bbm Subsidi solar yang diselenggarakan Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI) mengatakan Subsidi energi akan menjadi subsidi yang paling membebani fiskal kalau tidak diperbaiki polanya.
“Jika pola subsidi tidak diperbaiki, akan selalu terjadi distorsi. Distorsi terjadi jika subsidi dilakukan terhadap produk”.
Kholid yang juga dikenal sebagai salah Pengamat Energi nasional menyatakan pula bahwa Pola subsidi harus diperbaiki dengan mengganti subsidi terhadap produk menjadi subsidi terhadap orang, yaitu dengan memberikan voucher subsidi energi kepada yang berhak. Sayangnya hal ini belum bisa dilakukan karena data kependudukan yang masih kacau.
Sekretaris ISNU itu menegaskan bahwa Jika harga minyak rendah, harga BBM yang dijual kepada masyarakat tidak harus rendah. Selisih harga bisa dimasukkan ke dalam dana ketahanan energi nasional sebagai dana stabilisasi harga ketika harga minyak tinggi, sehingga harga BBM yang dijual kepada masyarakat tidak terlalu tinggi. Di hulu, dana ketahanan energi dapat digunakan untuk membantu eksplorasi migas.
Sementara Rosidi dari PELNI mengatakan bahwa Kebutuhan BBM Pelni sebenarnya terus meningkat, namun alokasi BBM subsidi menurun, Pada 2018, BBM subsidi yang diberikan pada PT Pelni 290 Ribu KL, sedangkan pada 2019 BBM subsidi hanya 260 Ribu KL.
Angkutan Pelni untuk masyarakat umum, sehingga tepat jika kami mendapatkan subsidi BBM. BPK dan Pertamina memberikan pengawasan ketat dalam penggunaan BBM subsidi bagi Pelni.
Sementara perwakilan dari INSA menyampaikan informasi bahwa kapal anggota INSA yang menggunakan BBM bersubsidi kurang dari 5%, yakni hanya untuk jenis kapal yang layanannya berdampak langsung terhadap masyarakat.
Pelni meminta pemerintah agar pada Implementasi penggunaan Biodiesel B30 sampai B100 perlu adanya kajian teknis dan ujicoba dalam kewajiban penggunaan biodiesel tersebut bagi angkutan laut, agar meminimalkan gangguan operasional akibat kerusakan mesin.
Sementara sekjen dpp , HISWANA MIGAS , Nina,pada FGD APEI tersebut mengatakan bahwa Perincian konsumen pengguna jenis BBM tertentu/solar yanh ditetapkan Pemerintah lewat Perpres dan Permen ESDM , masih kurang tegas. Khususnya bidang transportasi. Belum ada ketegasan di lapangan/SPBU mengenai kendaraan yang berhak membeli Solar subsidi, karena di lapangan sulit dibedakan pengecer yang berasal dari UKM atau pengecer dari industry. Hal ini menjadi problematika Hiswana untuk menyalurkan solar subsidi agar tepat sasaran.
Hiswana Migas juga mengeluhkan adanya Perbedaan harga yang sangat tinggi antara Solar subsidi dan Solar non subsidi berpotensi menimbulkan kecurangan dalam memperoleh jatah subsidi.
Hiswana migas mengusulkan agar Peraturan untuk konsumen pengguna Jenis BBM Tertentu / Solar agar ditetapkan lebih tegas dan ketat.
Selisih atau disparitas harga antara Solar subsidi dan Solar non subsidi diperkecil / dipersempit.
Peserta FGD dari Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sianida, menyampaikan informasi bahwa Spirit kebijakan penggunaan B20 dan B30 kurang sesuai dengan upaya pengurangan biaya yang dilakukan badan usaha.
Menurut APBI, banyak peralatan yang masih menggunakan kandungan Biodiesel lebih rendah dari 20%, malah ada yang menggunakan B7.
Menurut Sianida, jika menggunakan B20 apalagi B30, maka ini akan berdampak menaikkan biaya manintenance yang signifikan.
Tarigan Ketua umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) mengatakan bahwa Peraturan untuk konsumen pengguna Jenis BBM solar subsidi perlu diatur dengan jelas. BBM bersubsidi perlu diatur secara khusus dan tegas tidak abu abu.
Sementara asosiasi penyalur BBM indonesia (Apbbmi) yang adalah asosiasi pengusaha penjual bbm non subsidi menyoroti besarnya disparitas harga antara Solar subsidi dengan Solar non subsidi sangat memberi peluang besar timbulnya penyelewengan Solar subsidi.
Dipasaran banyak didapati adanya harga Solar yang timpang dimana harga Solar untuk kapal ada pihak yang bisa menjual dengan selisih harga yang sangat besar dari harga jual Pertamina atau Patra Niaga . Selisih bisa mencapai diatas Rp.1.000 perliter. Ini sangat tak masuk akal namun ini terjadi.
Untuk menghindari penyelewengan Solar subsidi ke kapal kapal maka Pemerintah harus melarang pengisian BBM ke kapal kapal dengan gunakan mobil tangki BBM .
APBBMI juga meminta agar pemerintah tetap mengizinkan adanya BBM Solar yang tidak diberi fame khusus bagi pengguna untuk kapal kapal khusus yang bahan bakarnya tidak bisa guna BBM B20 atau B30.
APBBMI
- Terkait harga jual Solar subsidi yang sangat murah, Pemerintah seharusnya meninjau kembali hal ini supaya tidak ada disparitas harga yang begitu lebar dengan yang harga Solar non subsidi yang bisa menekan peyelewengan Solar subsidi.
- Pengisian BBM solar ke kapal-kapal dengan menggunakan mobil tangki BBM harus dilarang untuk mencegah penyelewengan Solar bersubsidi kepada pengguna Solar non subsidi .
Peserta FGD lainnya Tauhid Ahmad direktur Indeff mengatakan bahwa Rencana APBN 2020 akan terjadi pengurangan Subsidi BBM.
Secara real, subsidi BBM terus meningkat dari 2016 hingga 2019.
Menurutnya, Pemerintah akan mengevaluasi pengaturan subsidi per volume, kemungkinan akan menggantikan dengan pengaturan subsidi per rupiah.
Sementara ekonom konstitusi, Defiyan Cori dalam FGD APEI mengatakan bahwa Realisasi subsidi BBM dan elpiji yang dialokasikan dalam APBN 2018,telah mencapai Rp 54, 3 Triliun hingga akhir September 2019. Realisasi subsidi telah melampaui pagu APBN Tahun Anggaran 2018 hingga 115,9 persen, melebihi renna alokasi BBM, sebesar 15,9 persen.
Defiyan sangat menekan kan bahwa Perpres No.191/2014 perlu dirinci badan usaha mana yang bertugas menyalurkan BBM bersubsidi .
Komaidi Notonegoro, pengamat energi dari REFORMINER menyoroti soal Akar masalah harga BBM bersubsidi berada pada perpres No.191/2014.
Menurutnya, dalam hal ini Pemerintah tidak konsisten karena memindahkan tugas penyaluran BBM PSO kepada Pertamina. Kebijakan ini masih aman selama harga minyak rendah. Namun jika harga minyak tinggi, kebijakan ini tidak efektif berjalan.
Menurut Komaidi, dalam komoditas Solar, konsumsi utama adalah sektor transportasi. Oleh karena itu, sektor transportasi harus mengkomunikasikan permasalahannya kepada pemerintah jika ada perubahan kebijakan terkait harga Solar. [ebs)
No comments so far.
Be first to leave comment below.