


Jakarta, situsenergy.com
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengungkapkan, bahwa secara umum pasokan dan distribusi bahan bakar minyak (BBM) di Papua khususnya di Kota Jayapura tidak ada persoalan.
Pasalnya, dari sisi stok sangat cukup, bahkan harga jual di penjual eceran juga tidak ada perbedaan signifikan karena hanya berada di kisaran Rp 10.000 per liter untuk premium dan pertalite.
“Pada akhir April lalu, saya berkesempatan mengunjungi “Bumi Cenderawasih” Papua, khususnya di Kota Wamena-Kab. Jayawijaya, dan Kota Jayapura. Dalam kunjungan itu, secara spesifik saya mencermati pola distribusi dan konsumsi BBM di Papua,” kata Tulus dalam keterangan persnya yang diterima Situsenergy.com di Jakarta, Jumat (18/5).
“Setidaknya saya mengunjungi tiga buah SPBU mini (APMS) di Wamena, dan dua buah SPBU di Kota Jayapura. Selain itu saya juga menyambangi beberapa titik penjual eceran BBM di lokasi yang sama. Dan secara umum, pasokan dan distribusi BBM di Kota Jayapura tidak ada persoalan,” tambahnya.
Kendati demikian, kata dia, harganya akan beranjak naik di malam hari di mana semakin malam, akan makin mahal harganya. “Di atas jam 00.00 harganya bisa mencapai Rp 15.000 per liter. Maklum jam operasional SPBU di Kota Jayapura hanya sampai jam 22.00 WIT karena faktor keamanan,” ujarnya.
Namun, kata dia, persoalan akan menjadi super rumit ketika distribusi merambah ke remote area seperti di Wamena, Lanijaya, Bukit Bintang dan sekitarnya. “Bayangkan saja, untuk sampai ke Wamena, BBM harus diterbangkan dengan pesawat kargo. Itu baru sampai ke Wamena, belum lagi ke daerah pemekaran di sekitar Wamena, harus ditempuh dengan perjalanan darat yang cukup jauh,” ungkapnya.
Menurut Tulus, untuk menerbangkan BBM ke Wamena bukanlah gratisan, tapi diperlukan ongkos transportasi yang benar-benar ajib, yakni Rp 11.000 per liter! Total jenderal dari depo Pertamina sampai ke SPBU mini di Wamena ongkos angkutnya mencapai Rp 15.000 per liter, meliputi ongkos angkutan udara dan angkutan darat (truk).
“Jadi biaya ongkos angkutnya jauh lebih mahal daripada harga BBM-nya itu sendiri. Harga BBM di SPBU mini di Wamena, yang jumlahnya hanya tiga buah, adalah sama dengan harga BBM nasional,” tukasnya.
Ironisnya, ongkos angkut yang ajaib itu bukan ditanggung oleh negara (APBN), tapi menjadi beban PT Pertamina. “Pantas saja Pertamina harus merogoh kocek hingga Rp 3 triliun untuk mewujudkan 150 titik kebijakan BBM satu harga tersebut,” ketusnya.
Tulus mengungkapkan, selain pola distribusi yang sangat rumit dan biaya angkut yang super mahal, ternyata ada beberapa poin menarik yang perlu dicermati. Yakni sisi positif dari pola konsumsi warga Papua terhadap BBM.
“Pertama, warga Papua sudah terbiasa dengan harga BBM mahal. Beruntunglah bagi warga yang dekat dengan SPBU, mereka bisa membeli BBM dengan harga normal. Tetapi, dengan hanya tiga buah SPBU di Wamena, tentu menyulitkan bagi warga yang jauh dari SPBU,” ungkapnya.
Sementara, kata dia, untuk datang ke SPBU diperlukan jarak puluhan sampai ratusan kilo meter. Akhirnya, tidak ada pilihan lain, mereka harus membeli BBM dengan harga yang lebih mahal via penjual eceran. “Dalam kondisi normal, harga di penjual eceran berkisar Rp 18.000-25.000 per liter. Harga bisa melambung setinggi langit, bisa mencapai Rp 75.000 per liter jika ada gangguan pasokan, seperti pesawat rusak dan atau faktor cuaca,” bebernya.
Selain itu, kata dia, warga Papua sudah terbiasa dengan BBM yang dikendalikan (dibatasi). Pemda Jayawijaya membatasi konsumsi BBM dengan kartu kendali. Setiap membeli BBM, harus menunjukkan kartu kendali tersebut yang dimiliki oleh semua pemilik kendaraan bermotor yang STNK-nya masih aktif.
“Dengan kartu tersebut, pengguna sepeda motor hanya berhak membeli BBM sebanyak 5 liter per 4 hari. Dan untuk mobil, sebanyak 25 liter per minggu, dan untuk angkutan umum berdasar trayek yang ditempuh,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, jam operasional SPBU di Wamena pun sangat terbatas, yakni antara jam 08.00-16.00 WIT. Sehingga konsumen harus menyesuaikan dengan jadwal buka SPBU, dan tampak antri di pagi hari. “Walau ada beberapa distorsi dalam implementasi, tetapi toh pengendalian pembelian BBM berdampak positif terhadap PAD Jayawijaya, khususnya dari sektor pajak kendaraan bermotor,” ujarnya.
“Sebab kartu kendali tidak akan diberikan bagi pemilik kendaraan bermotor yang STNK-nya mati. Mereka terpaksa rutin membayar pajak STNK, agar bisa mendapatkan jatah membeli BBM dengan kartu kendali,” tukasnya.
Lebih jauh ia mengatakan, warga Papua terbiasa dengan BBM berkualitas. Ini fenomena yang menarik, sebab ternyata warga Papua sudah familiar dengan pertalite. “Bagaimanapun pertalite kualitasnya lebih bagus daripada premium. Memang belum standar Euro 2, tetapi setidaknya pertalite ber-octane number (RON) 90, sedangkan premium hanya RON 88 (yang sudah tidak dikenal di dunia manapun),” kata dia.
Menurut keterangan manager MOR VIII Papua, Agung Wibowo, konsumsi pertalite di Papua sudah mencapai fifty-fifty dengan premium. Bahkan untuk Kota Jayapura konsumsi pertalite-nya sudah mencapai 70 persen. “Dan hebatnya, saat harga pertalite naik, masyarakat Kota Jayapura tidak bermigrasi (“turun kelas”) ke premium. Dengan kata lain, konsumen di Jayapura tidak sensitif harga, tetapi sudah mencapai level sensitif kualitas,” puji Tulus.
Dengan konfigurasi persoalan seperti di atas, lanjut dia, seharusnya konsumen di luar Papua merasa malu. Apalagi untuk konsumen di kota-kota besar di Jawa, yang dengan gampangnya mendapatkan BBM, jenis apapun dengan harga yang masih stabil dan terjangkau. “Bandingkan dengan warga di Papua, dan daerah-daerah T3 (terluar, terdepan, tertinggal) di Indonesia, yang sangat sulit mendapatkan BBM, dan kalau pun ada harganya menyundul langit,” ujarnya.
“Warga di Papua lebih mandiri, walau dengan tingkat daya beli yang rendah. Sementara warga di Pulau Jawa, tampak sangat cengeng dan manja walau dengan daya beli yang lebih baik. Bahkan mereka pun mengaku, harganya lebih mahal beberapa ribu daripada di Pulau Jawa pun tidak masalah,” ungkap Tulus.
Mereka sadar, untuk sampai ke Wamena dan sekitarnya, BBM itu tidak “berenang” sendiri. Jadi Pemerintah jangan bermimpi untuk BBM satu harga di Papua adalah harus sama persis dengan di Pulau Jawa. Bagi warga Papua, yang penting barangnya ada. Bahkan untuk komoditas lain seperti gula dan semen, yang juga rencananya akan “disatuhargakan”.
“Kita perlu belajar banyak dengan warga di Papua itu. Termasuk pemerintah. Bahwa pada suatu saat harga BBM akan mahal, dan jumlahnya terbatas. Apalagi Indonesia adalah negara nett importer BBM. Juga BBM berkualitas, seharusnya menjadi pilihan, demi menyelamatkan lingkungan dari emisi gas buang BBM,” tukasnya.
Pada akhirnya, kata dia, adalah tanggung jawab negara untuk memasok BBM dengan akses yang mudah, harga terjangkau dan kualitas yang baik pada rakyatnya. Dan tanggungjawab pemerintah pula untuk menjaga kesehatan dan kesinambungan perusahaan energi nasional seperti Pertamina, agar lebih berjaya. “Jangan malah dikerdilkan dengan pembebanan dan tanggung jawab finansial yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara via dana APBN,” pungkasnya.ADI
No comments so far.
Be first to leave comment below.