Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Apapun motif yang melatarbelakangi inspeksi mendadak atau telah direncanakan oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) mitranya BUMN Pertamina, maka publik patut mengapresiasinya. Soalnya, telah sekian lama tindak kecurangan yang merugikan publik, khususnya dalam transaksi jual-beli komoditas lama tidak pernah “ditemukan” apalagi ditindaklanjuti oleh pihak berwenang. Kasus yang ditemukan oleh Mendag Zulkifli Hasan pada SPBU di Karawang, Jawa Barat pada Sabtu 23 Maret 2024 tersebut bisa saja dilakukan oleh SPBU-SPBU di seluruh Indonesia. Maka itu, komitmen Mendag untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh atas tindak kecurangan operasionalisasi SPBU patut didukung penuh.
Tentu saja publik berharap, jangan sampai terjadi sidak Mendag itu hanya sebatas kegiatan formalitas atau”basa-basi” sebagaimana sidak SPBU di beberapa tempat yang pernah dilakukan oleh Menteri atau pejabat lainnya. Sebagai contoh, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif yang didampingi oleh Direktur Utama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Musa Rajekshah, Sekjen Kementerian ESDM Ego Syahrial, Direktur Jenderal Minyak Gas Bumi (Dirjen Migas) Tutuka Ariadji beserta Kepala Badan Pengatur Hulu Migas (BPH Migas) Erika Retnowati dulu juga pernah melakukan sidak pada Hari Sabtu tanggal 9 April 2022 pada 4 (empat) SPBU di Kota Medan, Sumatera Utara. Hasilnya, saat itu telah ditemukan juga fakta adanya penyimpangan konsumsi BBM, yaitu adanya kendaraan mewah yang masih mengkonsumsi solar bersubsidi. Namun, sampai tahun 2024 ternyata penyimpangan terus berlanjut saat Mendag Zulkifli Hasan sidak walaupun kasus yang berbeda.
Sidak oleh pejabat atau Menteri lainnya memang penting untuk memastikan bekerjanya tugas pokok dan fungsi (tupoksi) para staf atau jajarannya beserta perangkat dan peralatan pendukungnya agar tidak asal bapak senang (ABS) saja laporan ke pimpinannya. Berdasarkan kasus sidak Mendag inilah muncul pertanyaan kinerja Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang diatur dalam peraturan dan per-Undang-Undangan berlaku di satu sisi. Disisi lain, adalah soal efektifitas dari program digitalisasi SPBU yang telah direncanakan berjalan untuk 5.518 SPBU (baik milik mitra maupun Pertamina) serta dirancanbangunkan oleh PT. Telkom Indonesia dengan nilai proyek sejumlah Rp3,6 Triliun. Proyek ini juga telah diresmikan operasionalisasi nya oleh jajaran Direksi BUMN Pertamina dan Telkom pada tanggal 10 Desember 2020.
Untuk BPKN, landasan hukum operasionalnya secara normatif telah dijamin oleh UU Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (UU 2/1981) dan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999) beserta turunannya terdapat pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 72 Tahun 2020 (Permendag 72/2020). Selain memberikan arahan tupoksi BPKN, UU ini juga menetapkan sangsi pidana terhadap para pelaku kecurangan terkait transaksi jual beli komoditas yang melawan hukum metrologi (UU 2/1981) yang termaktub dalam pasal 32 dan 33 serta UU 8/1999 dalam pasal 61,62 dan 63 yang harus ditegakkan secara tegas terkait perlindungan hak konsumen. Meskipun, sejatinya efektifitas kedua UU tersebut perlu dipertanyakan disebabkan ringannya sangsi dengan begitu terbukanya ruang toleransi dan transaksi para pihak.
Sementara, terkait digitalisasi SPBU efektifitasnya juga harus dipertanyakan dalam mengantisipasi dan mengatasi kecurangan pengisian liter BBM kepada konsumen atas kasus yang disidak oleh Mendag tersebut. Apakah empat (4) SPBU yang telah disidak di wilayah Karawang itu (salah satunya SPBU beregister 34.41345 di rest area jalan Tol) telah menggunakan dispencer terdigitalisasi. Penggunaan digitalisasi SPBU jelas ditujukan untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalisir tindak kecurangan yang dilakukan oleh pemilik atau pengelolanya terhadap konsumen BBM. Jika kecurangan masih terjadi pada dispencer SPBU, maka harus dipertanyakan kepada pihak yang merancangbangun proyek digitalisasi dan mempertanggungjawabkan kemangkusan teknologinya terkait adanya alat tambahan switch pada dispencer yang ditemukan oleh Mendag Zulkiflli Hasan itu.
Selain itu, kalau hanya memantau secara manual atau langsung ke lokasi SPBU-SPBU yang dilakukan para pejabat itu, pertanyaan selanjutnya adalah apa manfaat proyek digitalisasi yang telah dijalankan? Jika cara-cara lama atau klasik dalam melakukan monitoring atau pengawasan penyaluran BBM masih saja digunakan, bukankah proyek digitalisasi SPBU yang dikerjakan oleh PT. Telkom (Persero) sebuah teknologi mubazir dan pemborosan anggaran negara, atau proyek digitalisasi SPBU-nya yang bermasalah? Dengan dana triliunan yang telah digelontorkan kepada PT. Telkom mestinya kejadian tindak kecurangan pada SPBU sudah tidak perlu lagi terjadi. Artinya teknologi digitalisasi SPBU yang dirancangbangun oleh PT. Telkom tidak hanya tak mampu melindungi hak konsumen, tetapi juga merugikan BUMN Pertamina, jelas ini bermasalah dan kemungkinan adanya unsur pidana perlu ditelusuri aparat hukum!
Untuk tujuan melindungi konsumen di SPBU ini jugalah alasan dibentuknya BPKN yang terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua, keduanya sekaligus merangkap anggota serta dibantu sekurang-kurangnya 15 anggota dan sebanyak-banyaknya 25 anggota yang mewakili semua unsur untuk melakukan perlindungan terhadap konsumen. Sejauh manakah kinerja BPKN selama ini (selain ada juga YLKI) dalam melakukan pengawasan dan penindakan rutin dalam melakukan perlindungan bagi konsumen terkait kasus kecurangan atau penyimpangan oleh SPBU dan juga praktek transaksj jual-beli komoditas lain yang merugikan konsumen. Jika tidak efektif juga, maka keberadaan lembaga yang dibiayai oleh APBN ini juga sama mubazirnya dan tak berguna sama sekali, sebaiknya dibubarkan saja kalau semua tupoksinya dijalankan oleh Mendag sendiri.[•]
No comments so far.
Be first to leave comment below.