


Jakarta, Situsenergi.com
Pelaku usaha menilai, penyaluran gas murah USD6 per Million British Thermal Unit (MMBTU) untuk 7 sektor industri, sesuai Perpres No 40 Tahun 2016 belum optimal lantaran PT PGN Tbk dalam menyalurkan gas murah, disebut masih tebang pilih.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai institusi yang berkewajiban untuk mengawasi implementasi Perpres tersebut, disebut tidak menjalankan perannya dengan baik dan cenderung hanya menyerahkan mekanisme penyalurannya kepada PGN saja.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Achmad Widjaya kepada Situsenergi.com, Senin (12/4/2021).
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengeluhkan bahwa dirinya mendapat surat teguran dari PGN, terkait rendahnya penyerapan gas oleh 7 sektor industri sesuai Perpres 40 Tahun 2016, meskipun harga gas yang dijual oleh PGN itu relatif murah.
Membalas teguran PGN tersebut, Menperin Agus mengatakan bahwa rendahnya serapan gas industri tersebut karena situasi pandemi yang mengakibatkan utilisasi industri tidak maksimal.
Namun demikian, hal itu ditanggapi berbeda oleh AW, demikian Achmad Widjaya biasa disapa. Menurutnya, penyebab rendahnya serapan gas oleh 7 industri tersebut karena dalam penyalurannya, PGN masih tebang pilih. Tidak semua perusahaan dari 7 sektor industri tersebut yang mendapatkan fasilitas harga gas USD6 per MMBTU.
Di lain sisi, Kementerian ESDM juga lemah dalam pengawasan sehingga tidak mengetahui ada kendala apa di lapangan. Bahkan, ketika penyaluran gas murah tersebut PGN hanya berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi dan bukan dari basis data pelanggan PGN, Kementerian ESDM tidak menyadari hal tersebut.
“Pihak (Kementerian) ESDM waktu meluncurkan gas USD6 per MMBTU sangat memakai sistem tebang pilih. Perpres menyebutkan semua industri yang ada di Perpres 40 tahun 2016 sebanyak 7 industri wajib menerima manfaat, ternyata sampai saat ini tidak semua industri menerima nya. Pihak ESDM lebih memegang data asosiasi ketimbang pelanggan PGN, sangat tidak masuk akal, dan pihak PGN pun tidak pernah memberi keterangan yang tegas ke ESDM dan Kemenyeriam BUMN atas seluruh pelanggan-pelanggan yang mereka punya. Alhasil serapan gas di Kemenperin tidak pernah mencapai maksimal,” ungkap AW.
Menurut AW, sikap PGN yang menyalahkan Kemenperin karena serapan gas murah industri tidak optimal adalah salah. Padahal menurutnya, munculnya ketidakadilan di sesama industri karena penyaluran gas yang disebutnya tebang pilih, yang menyebabkan PGN rugi.
“Munculnya ketidakadilan di sesama industri akibat penyaluran yang tebang pilih ini mengakibatkan PGN rugi dan main menyalahkan domain Kementerian lain (Kemenperin),” tuturnya.
Kemudian atas kekisruhan ini, AW pun meminta agar Kemenko Maritim dan Investasi (Marves) yang menaungi Kementerian ESDM, termasuk PGN di bawahnya untuk memanggil pihak-pihak terkait dan meminta penjelasan atas situasi yang terjadi sehingga mengakibatkan kinerja penyaluran PGN tidak optimal.
“Pihak Kemenko Marves wajib memanggil seluruh domain Kementerian untuk mempertanggungjawabkan isu tersebut, sejak di berlakukannya paket gas USD6 per MMBTU agar produsen serta seluruh industri bisa segera me-maximalkan kegiatan produksi menuju paket PEN yang gencar dikumadangkan pemerintah,” pungkasnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, pihaknya bersama kementerian Perindustrian RI berencana mengevaluasi kebijakan insentif harga gas yang telah berjalan hampir satu tahun.
Dijelaskan Tutuka, selama setahun terakhir, memang terdapat penurunan penyaluran gas sektor industri yang mencapai 229,4 BBTUD, atau baru 61 persen dari alokasi yang ditetapkan. Dikarenakan tidak 100 persen alokasi gas industri yang terserap, maka harus ada laporan terkait masalah yang terjadi di lapangan
Sementara itu Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mencatat bahwa sejak implementasi KepmenESDM Nomor 89K/2020, industri keramik di Jawa Timur (Jatim) baru mendapatkan harga gas sebesar USD6 per MMBTU sebesar 66 persen dari kontrak gas sesuai Kepmen tersebut.
Artinya 34 persen industri masih dikenai harga gas lama yakni USD7,98 per MMBTU. Hal ini tentunya sangat membebani industri keramik di Jatim apalagi di tengah gencarnya import produk keramik dari China, india dan vietnam.
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan gaangguan supply gas PGN di Jatim sejak beberapa bulan terakhir dan industri hanya diperbolehkan menggunakan 75 persen dari total kontrak Perjanjian Jual Beli Gas Bumi (PJBG) PGN. Hal ini memaksa industri keramik yang memproduksi penuh harus membayar 25 persen pemakaian gas tersebut dengan harga surcharge USD15 per MMBTU. (SNU/RIF)
No comments so far.
Be first to leave comment below.