Logo SitusEnergi
Said Didu : Antrian Solar dan Pertalite Terjadi Akibat Lambannya Keputusan Pemerintah Said Didu : Antrian Solar dan Pertalite Terjadi Akibat Lambannya Keputusan Pemerintah
Jakarta, Situsenergi.com Mantan Sekreris Kementrian BUMN, M.Said Didu menilai, antrian BBM solar dan petralite terjadi karena lambatnya keputusan pemerintah tentang tiga hal yakni dana... Said Didu : Antrian Solar dan Pertalite Terjadi Akibat Lambannya Keputusan Pemerintah

Jakarta, Situsenergi.com

Mantan Sekreris Kementrian BUMN, M.Said Didu menilai, antrian BBM solar dan petralite terjadi karena lambatnya keputusan pemerintah tentang tiga hal yakni dana subsidi, kuota, dan harga. Sementara Pertamina sendiri tidak bisa menyelasaikan karena selain hal itu luar kewenangannya juga karena tidak kuat menanggung kerugian.

“Antrian solar di SPBU sejumlah daerah disebabkan permintaan solar subsidi melebihi kuota solar subsidi dalam APBN. Saya juga memperkirakan banyak konsumen solar non subsidi yang “membeli” solar subsidi. Dan ini terjadi kerena selisih harga antara solar subsidi dengan non subsidi cukup menyolok atau mencapai Rp 8.000 per liter,” kata Said dikutif dari akun Facebooknya.

Lebih jauh ia mengungkapkan, bahwa penetapan harga dan jumlah produk bersubsidi atau nilai subsidi dalam APBN
adalah kuota jumlah produk disubsidi kali harga pokok penjualan dikurangi harga penetapan Pemerintah ditambah marjin.
Artinya bahwa total jumlah solar yang disubsidi penjualannya tidak boleh lebih dari kuota.

“Sehingga jika pemerintah belum memutuskan penambahan kuota solar bersubsidi dan aparat belum berhasil menjaga “penyelundupan” solar bersubsidi maka Pertamina tidak boleh menambah supply solar bersubsidi. Karena jika Pertamina menyalurkan lebih dari kuota maka itu akan menjadi sebuah pelanggaran,” paparnya.

BACA JUGA   Program Transisi Energi Butuh Peran Aktif Swasta

Selain masalah kuota, kata dia, Pertamina juga menghadapi masalah kekurangan dana subsidi yang harus ditalangi oleh Pertamina. Dana subsidi solar dalam APBN hanya Rp 500 per liter sementara selisih harga sudah menyentuh angka Rp 8.000 sehingga Pertamina harus menalangi sekitar Rp 7.500 per liter.

“Ironisnya, dana talangan tersebut baru akan dibayar oleh pemerintah setelah diaudit oleh BPK tahun berikutnya dan itu pun biasanya dicicil oleh pemerintah. Kejadian tersebut selalu berulang sehingga utang Pemerintah ke Pertamina umumnya di atas Rp 100 triliun. Ini sangat mengganggu cash flow Pertamina,” paparnya.

Penyebab Naiknya Harga BBM
Lebih jauh ia mengatakan, penyebab kenaikan harga BBM adalah akibat naiknya harga crude menjadi sekitar US$ 110 per barel.

“Sudah jelas penyebabnya karena harga crude naik menjadi US$ 110 per barrel. Yang jadi pertanyaan kenapa saat harga crude anjlok menjadi sekitar US$ 20 BBM tidak diturunkan,” kata Said.

Bagi pemerintah, sebenarnya kenaikan harga crude justru menguntungkan. Dengan produksi 700.000 barrel/hari, setiap kenaikan US$ 1 menaikkan pendapatan (tmsk pajak) sekitar Rp 3,0 triliun.

BACA JUGA   Minyak Melonjak Hampir 5 Persen, Imbas Optimisme Pemulihan Permintaan

“Sehingga jika harga crude sekitar US$ 100 dengan asumsi APBN US$ 63 maka kenaikan pendapatan sekitar Rp 110 triliun. Artinya ada dana untuk bisa subsidi BBM,” ungkapnya.

Seperti diketahui, asumsi harga crude di APBN 2022 adalah US$ 63 per barrel, dengan harga tersebut harga solar subsidi Rp 5.150 di mana subsidi tetap Rp 500 per liter. Artinya harga keekonomian solar jika harga crude sktr $ 60 per barrel adalah Rp 5.650 per liter.

“Jika harga crude US$ 110 per barrel dengan kurs dolar sekitar Rp 14.500 maka harga keekonomian solar menjadi Rp 13.000 per liter. Selisih harga sekitar Rp 8.000 per liter dengan solar bersubsidi inilah yang menjadi sember permasalahan. Demikian juga dengan petralite,” paparnya.

Namun BBM jenis petralite sendiri saat ini belum jelas, apakah menjadi BBM bersubsidi atau BBM penugasan untuk menggantikan BBM Premium. Karena dalam APBN 2022 jenis BBM bersubsidi adalah premium yang saat ini sudah “dihilangkan” di pasar. Belum ada keputusan resmi tentang petralite.

“Menurut saya petralite lebih rumit dari solar kerena belum ditetapkan sebagai BBM bersubsidi. Jadi dibutuhkan keputusan pemerintah terkait total kuota petralite, kuota masing-masing daerah
harga pertalite bersubsidi,” tukasnya.

BACA JUGA   Murahnya HGBT kepada Tujuh Sektor Industri Jadi Penyebab Tergerusnya Penerimaan Negara

“Perkiraan saya, harga keekonomian pertalite saat harga crude $ 100 per barrel sekitar Rp 12.000 per liter. Jika harga jual saat ini tidak berubah yakni Rp 7.650 per liter maka diperlukan subsidi sebesar Rp 4.350 per liter,” pungukasnya.(SE)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *