Logo SitusEnergi
Revisi UU Migas Belum Disahkan, Akar Persoalan Migas Revisi UU Migas Belum Disahkan, Akar Persoalan Migas
Jakarta, situsenergy.com Revisi Undang-undang (UU) Minyak dan Gas Bumi (Migas) Nomor 22 Tahun 2001 menjadi landasan bisnis industri hulu migas. Tanpa ada kejelasan waktu... Revisi UU Migas Belum Disahkan, Akar Persoalan Migas

Jakarta, situsenergy.com

Revisi Undang-undang (UU) Minyak dan Gas Bumi (Migas) Nomor 22 Tahun 2001 menjadi landasan bisnis industri hulu migas. Tanpa ada kejelasan waktu pengesahannya akan berakibat pada proses kelancaran industri padat modal, teknologi dan SDM ini. Sebab, akar persoalannya terletak pada UU Migas tersebut.

“Sebanyak apa pun regulasi migas yang keluarkan Menteri ESDM tidak akan berpengaruh pada industri ini karena landasan hukumnya belum disahkan,” kata Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Kamis (1/3/2018) di Jakarta.

Menurutnya, revisi UU  Nomor 22 Tahun 2001 setiap tahun masuk Prolegnas (Program Legislagi Nasional), tapi tidak pernah selesai pembahasaanya. “Tiga periode pemerintahan tidak pernah selesai hingga saat ini,” katanya.

Herman Khaeron, Wakil Ketua Komisi VII DPR, mengakui bahwa revisi UU Migas sangat penting untuk segera disahkan. “Saya baru 6 bulan lalu ditugaskan di Komisi 7 setelah mengurusi kedaulatan pangan. Sebagai orang yang pernah bergelut di dunia migas, saya paham betul pentingnya payung hukum dalam menjalankan  usaha ini,” kata Herman, seraya menambahkan bahwa draft revisi UU Migas saat ini berada di Baleg. Politisi Partai Demokrat ini juga menyatakan bahwa partainya juga mensupport agar revisi UU Migas segera diketok.

BACA JUGA   Pertamina  dan Pemprov Jambi Gulirkan Program Gentala

Persoalan revisi UU Migas juga menjadi concern anggota DPR lain. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya Widya Yudha menuturkan, sepatutnya diarahkan pada upaya pembenahan tata kelola migas sebagai akar masalah turunnya investasi dan produksi migas nasional belakangan ini. “Secara umum memang sudah ada perbaikan iklim usaha di Indonesia.

Hal ini tercermin dari peringkat kemudahan berusaha Indonesia (Ease of Doing Business) 2018 yang mengalami kenaikan. Di 2018, Indonesia berada pada posisi 72 dari 190 negara. Posisi itu naik dari sebelumnya yaitu peringkat 91 pada 2017 dan 106 pada 2016. Namun, hal itu tidak tercermin di sektor hulu migas. Bahkan seolah bertolak belakang dengan perbaikan peringkat tersebut,” kata Satya.

Pun, bila merujuk pada survei dari Fraser Institute di pertengahan 2017, iklim investasi migas di Indonesia ternyata masih kalah menarik dibanding banyak negara lain di dunia. Penilaian ini mengelompokkan Indonesia ke dalam 10 negara dengan tingkat iklim investasi terburuk bersama Venezuela, Bolivia, Libya, Irak, Ekuador, Kamboja, Prancis dan Yaman. Begitu juga bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia tetap terpuruk di posisi buncit.

BACA JUGA   Bergabung di CEDI, RI Komit Tarik Investasi EBT

Data itu, imbuh Satya, harus menjadi alarm bagi Indonesia untuk segera berbenah. Menurutnya, upaya perbaikan daya saing investasi di sektor hulu migas harus muncul dari dua sisi yakni dari sisi regulasi dan industri.

“Daya saing itu harus muncul dari pemerintah dan dunia usaha. Pemerintah memperbaiki berbagai regulasi sementara dunia usaha melakukan pembenahan kinerja sehingga operasional perusahaan semakin efisien,” paparnya.

Regulasi yang jelas akan memberi kepastian hukum yang akan menjamin terciptanya stabilitas bisnis dan investasi. UU Migas sebagai payung hukum akan memberi kepastian hukum yang merupakan salah satu elemen terpenting untuk memastikan kegiatan bisnis hulu migas yang merupakan investasi jangka panjang dapat berjalan dengan baik dan sekaligus memperbaiki iklim investasi.

Ia pun mengakui RUU Migas hasil revisi UU 22/2001 menjadi kebutuhan mendesak pelaku usaha karena akan memunculkan iklim investasi hulu migas yang kondusif. Sayangnya hingga saat ini posisi hal itu masih diproses di Badan Legislatif (Baleg) DPR.

Hal ini terkait alotnya pembahasan ataupun sinkronisasi pemahaman mengenai Badan Usaha Khusus (BUK) yang melibatkan dua Komisi DPR, yaitu Komisi VII dan Komisi VI. Pasalnya, BUK (konsep dari Komisi VII) mengintegrasikan sektor hulu dan hilir, diantaranya SKK Migas dan BPH Migas yang fungsinya tetap sama. Sementara konsep dari Komisi VI, induk usaha (holding) merupakan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor migas.

BACA JUGA   Pemerintah Instruksikan Pertamina Amankan Pasokan Premium

“Revisi UU Migas memang masih menjadi utang bagi anggota DPR periode 2014-2019. Tentu kami akan berupaya maksimal untuk bisa meloloskannya sebagai undang-undang migas baru yang akan menjadi payung hukum bagi tata kelola sektor migas dan energi di Indonesia ke depannya,” tandasnya. (Fyan)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *