

Revisi Aturan PLTS Atap Berpotensi Merugikan PLN Dan Negara
MIGAS August 27, 2021 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, Situsenergi.com
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menilai, rencana pemerintah untuk merevisi Permen ESDM No 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN jo Permen ESDM No 13/2019 jo No 16/2019 berpotensi merugikan PT PLN (Persero) dan keuangan negara.
Ia menyoroti salah satu point yang direvisi dalam beleid tersebut adalah Pasal 6, dimana ketentuan ekspor listrik lebih besar dari 65 persen menjadi 100 persen. Mamit menyampaikan bahwa ketentuan tersebut cenderung akan memberatkan bagi negara.
“Secara prinsip, skema 1:1 akan mendorong masyarakat untuk berbisnis dengan PLN tapi tidak diperlakukan sebagai entitas bisnis. Padahal, PLN sudah membangun infrastruktur kelistrikan terlebih dahulu.” ujar Mamit dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/8/2021)
Menurut Mamit, harga PLTS Atap jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan pembangkit lain. Ia mengungkap BPP untuk PLTU hanya Rp 700 – Rp 900 per kwh, sedangkan untuk PLTS Atap adalah sebesar Rp 1400 sesuai TDL. Kewajiban PLN membeli listrik EBT, dimana selisih dengan pembangkit fossil ditanggung oleh negara.
“Dengan selisih yang cukup besar ini, maka harus ditanggung oleh negara dengan dana kompensasi yang harus dibayarkan kepada PLN sehingga harus menambah postur baru dalam APBN kita. Ini jelas akan menambah beban keuangan negara apalagi jika PLTS Atap sudah naik secara signifikan apalagi tidak ada batasan kapasitas terpasang sehingga tidak ada kepastian neraca daya.” ungkap Mamit.
Mamit juga menyoroti kondisi kelistrikan saat ini yang sudah oversupply selama masa pandemi. Jika aturan ini dipaksakan berlaku, maka hal ini akan membuat keuangan PLN “berdarah-darah’.
“Ditengah pasokan listrik yang berlimpah dan belum tumbuhnya konsumsi listrik nasional, PLN dipaksa harus menerima listrik dari PLTS Atap yang bisa menyebabkan pertumbuhan konsumsi listrik tidak tumbuh. Jelas ini akan memberatkan PLN apalagi saat ini program 35 GW sudah berjalan dimana skemanya adalah Take or Pay yang belum terserap semua karena system Jawa-Bali sudah berlebihan pasokan listrik.” ucap Mamit.
Dia juga menyampaikan PLN harus tetap menjaga keandalan listrik bagi konsumen PLTS atap karena sifatnya listrik yang dihasilkan intermittent serta listrik yang dihasilkan oleh PLTS Atap efektif di siang hari yaitu jam 10 sampai jam 14.
“Jelas ada beban cost yang harus disiapkan oleh PLN karena harus tetap menjaga pasokan listrik ke konsumen. Intemittency ini jadi permasalahan tersendiri karena akan menambah BPP listrik. Saat intermittent ini harus disiapkan pembangkit follower seperti gas atau diesel yang harus tetap standby. Jadi skema 1:1 tidak pas dan cendrung menguntungkan pihak-pihak tertentu.”ungkap Mamit.
Mamit juga menyampaikan bahwa saat ini kandungan TKDN PLTS maksimal 40 persen saja dimana justru akan lebih banyak impor yang dilakukan, dengan demikian multiplier effect tidak bisa dioptimalkan.
“Jangan sampai kita hanya menjadi pasar impor dan penonton saja. Sayang, APBN kita akhirnya hanya mengalir ke produsen dan pengusaha solar panel saja tanpa ada potensi ekonomi yang dihasilkan, padahal kita punya potensi green energy di dalam negeri yang jauh lebih besar.” urai Mamit kembali.
Mamit juga menyoroti bahwa yang saat ini hanya golongan mampu saja yang bisa memasang PLTS Atap, karena memang harga PLTS Atap masih cukup mahal.
”Jangan sampai nanti ada kecemburuan sosial di masyarakat terkait dengan PLTS Atap ini, karena yang bisa menikmati adalah pelanggan dengan kapasitas yang besar.” tegas Mamit.
“Jadi revisi Permen ESDM No 49/2018 akhirnya hanya akan memberatkan PLN dan Negara dimana ini sebagai upaya mengejar bauran energi, padahal di negara maju saja masih tergantung dengan energi fossil.” pungkas Mamit. (SNU)
No comments so far.
Be first to leave comment below.