Logo SitusEnergi
Program B30 Terkendala Harga FAME, Kemenkeu Akui Belum Jalan Optimal Program B30 Terkendala Harga FAME, Kemenkeu Akui Belum Jalan Optimal
Jakarta, Situsenergy.com Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui bahwa implementasi program biodiesel 30 persen (B30) masih belum berjalan optimal. Hal itu terjadi karena praktek... Program B30 Terkendala Harga FAME, Kemenkeu Akui Belum Jalan Optimal

Jakarta, Situsenergy.com

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui bahwa implementasi program biodiesel 30 persen (B30) masih belum berjalan optimal. Hal itu terjadi karena praktek di lapangan masih ditemui sejumlah kendala sehingga program yang digadang-gadang bisa menekan importasi minyak belum berjalan sesuai harapan.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu, membenarkan bahwa saat ini realisasinya menjadi agak rumit karena harga FAME (Fatty Acid Methyl Ester) masih tinggi. Padahal di saat yang sama harga minyak bumi di pasar internasional jatuh sangat dalam sehingga level harganya jauh dari harga asumsi di awal tahun.

“Sehingga selisih antara harga FAME dengan harga solarnya itu jadi lebih besar. Inilah yang membuat bisnis FAME atau bahan bakar nabati agak terganggu tahun ini, dan juga mungkin tahun depan,” kata Febrio dalam konferensi pers virtual, Kamis (6/8).

Febrio mengaku bahwa saat ini pemerintah tengah mencoba melakukan pembahasan bagaimana mengatur mekanisme terkait hal tersebut, setidaknya untuk tahun 2020-2021 ini. Sebab, program B30 yang digagas Presiden Jokowi untuk tahun 2020 ini sebenarnya adalah bentuk hilirisasi CPO, guna mendapatkan nilai tambah yang jauh lebih besar dibandingkan jika CPO itu hanya diekspor dalam bentuk raw material. Apalagi, saat ini sudah ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit.

BACA JUGA   Mau Jadi Pelaut Profesional? Cek Program Beasiswa dari PIS Ini!

“Jadi kalau industri itu ingin mengekspor CPO alias raw material, di mana produknya belum terlalu hilir jika dibandingkan dengan produk turunan CPO seperti misalnya RBD (refined, bleached, deodorized), maka harga pungutan ekspornya memang lebih mahal,” kata Febrio.

Sebagai informasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan, pemerintah via Kemenkeu menetapkan pungutan atas ekspor sawit, CPO, dan produk turunannya, dengan tarif baru. Dengan pemberlakuan per 1 Juni 2020, secara rinci aturan yang diundangkan pada tanggal 29 Mei 2019 itu menegaskan bahwa Menkeu menaikkan pungutan ekspor (levy) atas ekspor kelapa sawit dan turunannya, khususnya untuk ekspor CPO menjadi USD55 per ton. (DIN/rif)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *