Logo SitusEnergi
Politik BBM Perusak Ketahanan Energi Politik BBM Perusak Ketahanan Energi
Oleh: M. Batubara, IRESS Dalam dua bulan terakhir, pemerintah telah menetapkan tiga kebijakan penting pada sektor migas nasional, yaitu a) harga premium dan solar... Politik BBM Perusak Ketahanan Energi

Oleh: M. Batubara, IRESS

Dalam dua bulan terakhir, pemerintah telah menetapkan tiga kebijakan penting pada sektor migas nasional, yaitu a) harga premium dan solar tidak akan naik hingga 2019, b) pasokan premium ke seluruh wilayah NKRI wajib disediakan Pertamina, dan c) direktur utama dan empat orang direktur Pertamina diganti karena berbagai alasan.

Guna mengakomodasi perubahan butir a) dan b), pemerintah akan merevisi Perpres Nomor 191/2014. Sedangkan untuk butir c), dikatakan keputusan diambil berdasarkan rekomendasi Dewan Komisaris Pertamina. Kementerian BUMN mengatakan pergantian direksi dilakukan karena alasan yang terkait nomenklatur holding BBM, kelangkaan premium, fluktuasi pertalite, patahnya pipa minyak off-shore Balikpapan, dan lambannya pembangunan kilang BBM. Terserah, apakah alasan-alasan tersebut logis, objektif, prudent , dan tidak manipulatif, IRESS memperkirakan ada halhal lain menjadi motif di balik kebijakan. Namun, apa pun motifnya, sikap kita adalah bahwa negara dan rakyat harus memperoleh manfaat terbesar. Mari kita dalami.

IRESS meyakini bahwa salah satu motif utama di balik kebijakan-kebijakan di atas adalah kepentingan pencitraan politik pemerintah. Sebagai penguasa dan eksekutif pengambil keputusan, rasanya sah-sah saja jika pemerintah membuat kebijakan tidak menaikkan harga BBM hingga 2019. Dengan begitu, simpati dan dukungan rakyat akan dapat diraih sehingga Pemilu 2019 bisa dimenangkan. Hal yang jadi masalah adalah apakah kebijakan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku dan sejalan dengan kepentingan energi nasional?

Ternyata kebijakan yang bersifat penugasan/PSO pada Pertamina tersebut diberikan tanpa diiringi dengan penambahan subsidi BBM di APBN. Artinya, seluruh dampak finansial tugas PSO tersebut harus ditanggung Pertamina. Tentu saja hal ini dapat mengganggu keuangan Pertamina yang pada gilirannya bisa mengganggu penyediaan energi berkelanjutan dan merusak ketahanan energi nasional. Penugasan seperti ini bertentangan dengan Pasal 66 UU Nomor 19/2003 tentang BUMN yang mewajibkan pe me – rintah memberi kompensasi (plus margin ) kepada BUMN jika menerima tugas PSO.

Di tengah gejolak harga BBM yang terus naik, dengan mempertahankan harga tetap tidak berubah selama dua tahun terakhir, pemerintah pun telah melanggar peraturan yang dibuat sendiri. Pemerintah telah melanggar ketentuan dalam peraturan dibuat sendiri pada Perpres Nomor 191/2014 bahwa harga BBM dievaluasi setiap bulan sesuai perubahan harga minyak dunia dan kurs. Karena itu, nyata bahwa kebijakan populis tersebut, minimal telah melanggar undang-undang dan peraturan yang berlaku serta merugikan keuangan BUMN. Faktanya, dengan penugasan bersifat semena-mena tersebut, sepanjang 2017 Pertamina telah merugi sekitar Rp24 triliun akibat dipaksa menjual BBM premium dan solar jauh di bawah harga keekonomian.

BACA JUGA   PGE Gandeng Zorlu Enerji Turki untuk Kembangkan Proyek Panas Bumi Internasional

Harga premium (Rp6.450/liter) dan solar (Rp5.150/liter) yang berlaku sepanjang 2017 masih merujuk pada harga rata-rata minyak dunia sekitar USD 40/barel. Padahal harga rata-rata minyak dunia tahun 2017 telah naik menjadi sekitar USD 59/barel sehingga tidak heran jika untuk tugas PSO tersebut Pertamina rugi Rp24 triliun. Belakangan ini (30/4/2018) dengan harga minyak dunia sudah mencapai USD 68/barel (West Texas In termediate) dan USD 74/barel (Brent), maka harga keekonomian premium seharusnya Rp8600/liter dan harga keekonomian solar Rp8350/liter.

Dengan kuota premium dan solar di APBN 2018 masing-masing adalah 7,5 juta kiloliter dan 15,3 kiloliter, jika pemerintah berketetapan mempertahankan harga BBM tanpa tambahan subsidi APBN, maka kerugian yang akan ditanggung Pertamina guna pencitraan politik pemerintah sepanjang 2018 adalah Rp16,13 triliun (pre mium) dan Rp49,2 triliun (solar) atau total sekitar Rp65 triliun! Situasi geopolitik global bisa saja memburuk sehingga harga minyak dunia bisa naik di atas USD80 per barel. Jika pemerintah terus mempertahankan harga BBM tetap hingga 2019, maka jangan heran jika kerugian Pertamina akan semakin besar.

Hal ini pasti akan mem buat Pertamina mengalami gagal bayar atau default , keadaan di mana korporasi tidak mampu memenuhi berbagai kewajiban keuangan, terutama membayar utang dan bunga obligasi yang nilainya besar untuk menopang finansial perusahaan. Jika Pertamina mengalami default, jangan heran kalau kinerja keuangan dan operasinya terganggu dan pelayanan penyediaan BBM kepada rakyat pun akan terkendala. Jangankan untuk membangun kilang yang membutuhkan dana besar, pendanaan mengimpor minyak mentah dan BBM guna memenuhi kebutuhan rutin harian konsumen pun akan ikut terganggu.

Hal-hal merugikan korporasi dan konsumen seperti inilah yang sering diingatkan oleh direksi kepada pemerintah untuk tidak sekadar memaksakan kebijakan populis tanpa peduli dampak pada Pertamina yang akan mengalami default . Namun, mereka dianggap membangkang dan akhirnya dilengserkan.

BACA JUGA   Ultah Ke-17, PDSI Rayakan dengan Donor Darah: Biar Nggak Cuma Tiup Lilin

Motif lain adalah diperkirakan adanya kepentingan perburuan rente oleh oknum-oknum tertentu melalui perubahan cakupan penjualan premium. Dengan memperluas distribusi dan pelayanan penjualan premium dari Non-Jamali (Jawa-Madura- Bali) menjadi pelayan an ke seluruh NKRI, maka volume penjualan premium akan meningkat sangat tinggi.

Padahal premium adalah jenis BBM oplosan (hasil down-grade produk standar tertentu yang dicampur dengan nafta atau minyak kualitas rendah) secara internasional harga rujukannya tidak jelas dan mudah manipulasi harga. Karena itu, kombinasi “volume besar” dan “harga tanpa rujukan yang jelas” ini akan memberi peluang perolehan rente semakin tinggi. Padahal dengan masih digunakannya premium sebagai bahan bakar kendaraan, pemerintah telah melanggar komitmen penggunaan energi bersih sesuai standar minimal yang ditetapkan sendiri, yakni Euro II (RON 92). Apalagi jika cakupannya diperluas hingga ke wilayah yang lebih padat penduduk seperti wilayah Jamali.

Kebijakan itu justru kembali menggalakkan penggunaan energi kotor yang merusak kesehatan rakyat dan lingkungan ini, jelas merupakan kebijakan populis plin-plan, tidak bertanggung jawab, berpandangan sempit, berwawasan jangka pendek, dan sangat pragmatis oportunis.

Motif berikut adalah adanya kemungkinan kepentingan negara dan korporasi asing untuk tetap mempertahankan volume ekspor BBM ke Indonesia. Untuk itu, mereka berkepentingan jika pembangunan kilang Indonesia gagal. Dengan kewajiban PSO dari pemerintah tanpa dukungan subsidi APBN, maka kemampuan keuangan Per tamina akan ter ganggu.

Akibatnya, pembangunan proyek-proyek kilang baru di Tuban dan Balikpapan (Grass Root Refinery/GRR) dan revitalisasi kilang tua di Balikpapan, Balongan, Cilacap, dan Dumai (Refinery Develop ment Master Plan/RDMP) akan gagal atau tertunda.

Kegagalan ini jelas sangat diinginkan asing sehingga volume ekspor mereka ke Indonesia tetap besar atau bahkan naik. Kita tidak tahu apakah pemerintah menyadari adanya agenda asing dan pemburu rente di balik kebijakan BBM yang populis tersebut.

Bahkan, bisa pula ada oknum-oknum mafia minyak di pemerintahan justru bekerja sama dengan asing agar Indonesia tetap tergantung pada BBM impor.

BACA JUGA   Bahlil Lantik Dua Jenderal Penegak Hukum ESDM, Siap Basmi Pelanggaran Tambang!

Namun, yang jelas adalah kebijakan populis harga BBM diambil saat ini memang sejalan dengan kepentingan asing dan mafia pemburu rente. Anggaplah ini kebetulan. Karena itu, kita ingin “menyadarkan” dan mengimbau pemerintah agar kembalilah pada kebijakan yang mengutamakan kepentingan negara dan rakyat, yakni menjaga BUMN agar bisa menjalankan tugas-tugas konstitusionalnya bagi ketahanan energi nasional.

Kebijakan Populis Ilegal

Pemerintah sebenarnya memiliki opsi menerapkan kebijakan populis tanpa harus mengorbankan BUMN, yakni mempertahankan harga BBM tidak naik dengan meningkatkan dana subsidi BBM di APBN. Namun, dengan sistem subsidi saat ini, akan dibutuhkan dana subsidi besar dan orang yang mampu serta tidak layak pun akan memperoleh subsidi.

Opsi lain, pemerintah dapat menerapkan harga jual BBM sesuai harga keekonomian, tapi harus diiringi dengan “sistem subsidi langsung tepat sasaran” kepada golongan masyarakat tak mampu melalui mekanisme bantuan atau kompensasi langsung.

Hal ini akan membutuhkan anggaran subsidi APBN lebih rendah dan juga lebih berkeadilan karena hanya golongan masyarakat tidak mampulah yang disubsidi. Namun, sistem subsidi langsung tepat sasaran yang andal harus ditemukan terlebih dahulu. Untuk kedua opsi di atas, pemerintah perlu memberlakukan pola harga BBM dalam koridor batas atas dan batas bawah bersamaan dengan penerapan dana stabilisasi. Dengan begitu, kemampuan keuangan Pertamina tetap terjaga untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnis pada sisi hulu dan hilir, membangun kilang, mengem bang kan EBT, dan lain-lain, sehingga ketahanan energi nasional meningkat.

Terserah opsi mana yang dipilih, tapi minimal kita menuntut agar pemerintah mengakhiri kebijakan populis ilegal yang merusak BUMN secara semena-mena. Dengan terus mengalami kerugian akibat penugasan populis dari pemerintah, terasa bahwa sebenarnya secara sengaja pemerintah sedang bekerja untuk menghancurkan BUMN dan ketahanan energi nasional. [•]

*Sumber : Sindo,08-05-2018

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *