Logo SitusEnergi
Polemik Status Hukum SKK Migas, Ini Pendapat Mantan Bos PHE Polemik Status Hukum SKK Migas, Ini Pendapat Mantan Bos PHE
Jakarta, situsenergy.com Sewindu atau delapan tahun paska keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pembubaran BP Migas, yang lalu berganti nama menjadi SKK Migas, landasan hukum... Polemik Status Hukum SKK Migas, Ini Pendapat Mantan Bos PHE

Jakarta, situsenergy.com

Sewindu atau delapan tahun paska keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pembubaran BP Migas, yang lalu berganti nama menjadi SKK Migas, landasan hukum mengenai hal itu belum juga jelas. Hal ini yang kemudian disebut oleh banyak orang, menjadi biang keladi dari tidak optimalnya sektor hulu migas di Indonesia.

Mantan Direktur Utama Pertamina Hulu Energi (PHE) Salis S. Aprilian mengatakan, sejatinya saat BP Migas dulu dibubarkan oleh MK, Pemerintah cukup menunjuk PHE saja sebagai fungsi pengganti BP Migas. Atau, jika mau Pemerintah bisa membuat BUMN khusus yang mengelola hulu migas.

“PHE juga melakukan apa yang dilakukan BPMigas. Bedanya, kami (PHE) mengurusi (mengawasi dan mengendalikan) mitra Pertamina dangan perusahaan migas nasional/multinasional dalam bentuk JOA, JOB, dan BOB, sedangkan BP Migas mengurusi mitra Pemerintah dengan KKKS dalam bentuk PSC atau KKS,” ujar Salis, Sabtu (14/11/2020).

Sedikit mundur kebelakang, Salis mengungkap ketika tahun 2012 lalu saat BP Migas dibubarkan, beberapa orang wartawan melontarkan pertanyaan kepadanya, apakah PHE siap jika ditunjuk untuk menggantikan peran BP Migas?. Menurutnya, ketika itu ia menjawab, kenapa tidak?.

BACA JUGA   Bangga! Tim Medco E&P Tembus Top 10 Dunia di AI Hackathon GOTECH 2025

“Kalau ditunjuk pemerintah, apakah PHE siap? Saya jawab kenapa tidak?. Ditanya lagi, jadi siap, ya Pak? Saya jawab lagi, kalau ditunjuk, harus siap,” kenangnya ketika itu.

Menurut Salis, ketidakjelasan status hukum SKK Migas selama sewindu ini menyebabkan fungsi dan tanggung jawabnya lemah. Ia mengatakan, setiap tahun SKK Migas menetapkan produksi setiap KKKS lebih berdasarkan target yang diinginkan Kementrian Keuangan. Atau, dari evaluasi realisasi produksi tahun sebelumnya.

Atau, andaipun forecast produksi datang dari KKKS, seringkali Pertamina, yang memiliki banyak WK (wilayah Kerja), dijadikan sebagai swing producer untuk menutupi atau mengantisipasi kekurangan target produksi dari KKKS lainnya.

“Saya katakan bahwa presentasi yang sangat bagus dari SKKMigas, dengan Long Term Plan nya, harus diimbangi dan didukung dengan perencanaan di sektor hilir. Jangan sampai terjadi mismatch,” tuturnya.

Salis mencontohkan, dengan adanya target produksi 1 juta barrel minyak dan 12 milyar kaki kubik gas per hari di tahun 2030. Apakah infrastrukturnya sudah memadai? Apakah minyak tersebut dapat diserap di kilang domestik? Karena kilang juga didesain untuk spesifik minyak mentah tertentu. Kalaupun akan diekspor, adakah pasar yang akan menyerap? Jika dijual spot, maka ketidakpastian harga pun akan mempengarui keekonomian lapangan.

BACA JUGA   Trilema Energi Indonesia: Jalan Tiga Simpang dan Sebatang Lilin yang Merana

“Untuk gas bumi juga begitu, produksi 12 BCF itu besar. Apakah sudah ada rencana akan dijual kemana? Sudah adakah pembelinya? Jika untuk domestik, sudah adakah infrastrukturnya?,” tegasnya.

Kemudian terkait optimisme adanya puluhan cekungan yang belum dieksplorasi, menurutnya harus diberi tambahan data terkini agar menarik bagi investor.

“Sebaiknya lakukan tambahan lintasan seismic dan/atau beberapa sumur eksplorasi dengan biaya diambil dari penyisihan sebagian dana bagi hasil bagian pemerintah atau signature bonus wilyah kerja. Jika ada investor dari major oil company, sertakan Pertamina mengambil sebagian sahamnya,” sebutnya.

“Cekungan itu ibarat melihat rumah dari drone, kita belum bisa pastikan apakah ada penghuninya atau tidak. Satu-satunya cara dengan mengintipnya melalui lubang bor,” sambungnya. (SNU/rif)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *