Logo SitusEnergi
PLN Proyeksikan Pengembangan Pembangkit EBT Besar-besaran di 2028 PLN Proyeksikan Pengembangan Pembangkit EBT Besar-besaran di 2028
Jakarta, Situsenergi.com PT PLN (Persero) memproyeksikan pengembangan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) akan mengalami peningkatan besar-besaran mulai 2028 dikarenakan kemajuan teknologi baterai yang semakin... PLN Proyeksikan Pengembangan Pembangkit EBT Besar-besaran di 2028

Jakarta, Situsenergi.com

PT PLN (Persero) memproyeksikan pengembangan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) akan mengalami peningkatan besar-besaran mulai 2028 dikarenakan kemajuan teknologi baterai yang semakin murah. Setelah itu, kenaikan secara eksponensial akan mulai terjadi pada 2040.

Hal ini disampaika Executive Vice President Pelayanan Pelanggan Retail PLN, Munief Budiman saat berbicara pada webinar Solusi Kebersamaan Energy and Mining Editor Society (SUKSE2S) dengan tema: “PLTS Atap untuk Industri, Siapa yang Untung?” yang digelar Rabu, (23/3/2020)

“Pada 2045 porsi EBT sudah mendominasi total pembangkit. Dan untuk dekade berikutnya seluruh pembangkit listirk di Indonesia berasal dari EBT,” katanya.

Menurutnya, PLN berkomitmen mendukung pemerintah untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025 yang ditunjukkan pada pilar transformasi green PLN. Transformasi PLN untuk pilar green dengan berupaya memimpin transisi energi Indonesia melalui peningkatan EBT secara pesat dan efisien.

“Green breakthrough kami adalah implementasi RJPP 2019-2024, launch green booster 3,5 GW, dan launch large scale reneable energy,” ucapnya.

Lebih jauh Munief mengatakan, pada 2015-2019 PLN mempunyai forecast demand dari kebutuhan tenaga listrik yang cukup tinggi. Ini akan menjadi dasar PLN menyiapkan infrastruktur untuk respon pertumbuhan yang tinggi. Namun pada 2016-2017 ternyata pertumbuhan tenaga listrik tidak seperti yang diharapkan. Padahal pada 2015 sudah ada komitmen pembangunan proyek IPP yang sudah berjalan.

“Ini menjadi hal yang harus kita antisipasi. Pada 2019 estimasi diupayakan dikoreksi. Pada 2021 estimasi demand dari 361 TWh, dikoreksi jadi 279 TWh. Target 2022 estimasi demand 392 TWh, dikoreksi jadi 300 TW,” ungkapnya.

Saat ini, kata dia, sebaran sistem kelistrikan secara nasional semuanya surplus sangat tinggi di atas 30-40 persen. Ada yang bahkan 109 persen di sistem Nias. Untuk Jawa – Bali surplusnya 50 persen.

BACA JUGA   Strategi Baru! PLN dan Lemhannas Siap Kawal Energi RI dari Balik Layar

Munief mengatakan hanya ada beberapa di sistem khatulistiwa yang sistem reserve marginnya 9 persen. Ini menunjukkan cadangan kapasitas listrik banyak yang belum terutilisasi.

“PLN perlu arif dan bijaksana agar kapasitas ini bisa dimanfaatkan dan bisa ikut berpartisipasi dalam pengembangan EBT,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), Linus Andor Maulana mengatakan, faktor negative cycle menjadi penyebab tidak berkembangnya industri solar PV di Indonesia. Negative cyle yang terjadi akibat ada limited capacity sehingga low economic scale tidak tercapai.

“Selain itu, low demand, low new investment, serta high cost dan price low feasibility. Kalau industri ini mau ditumbuhkan di hulunya, ada peluang bisnis, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan kemampuan nasional,” kata Linus.

Menurut dia, di Indonesia punya banyak tambang kuarsit yang bisa dikembangkan. Namun untuk itu perlu investasi yang cukup besar. Pasalnya, untuk penambangan dan pengolahan konsentrat kuarsit dan dikembangkan menjadi kuarsa murni diperlukan investasi US$160 juta.

“Reduksi dan pemurnian dari kuarsa murni ke metalurgical grade investasinya US$ 455 juta. Dan untuk menjadi produk elektronika dan chemical, solar cell dibutuhkan investasi US$ 250 juta,” kata dia.

BACA JUGA   PLN Kalahkan Perusahaan Energi Global, Jadi Tempat Kerja Terbaik 2025 versi LinkedIn

Sementara Direktur Utama Sky Energy, Christoper Liawan mengatakan PLTS merupakan salah satu jenis pembangkit EBT dengan potensi terbesar yaitu 207,8 GW. Namun masih ada kendala dalam pengembangan PLTS, khususnya PLTS atap.

Berdasarkan hasil kajian, 92 persen masyarakat masih memiliki keraguan untuk menggunakan PLTS atap. Hal ini karena kurangnya pemahaman terhadap teknologi PLTS atap, masih menganggap harganya mahal, dan belum mendapatkan jawaban yang tepat terkait produk dan manfaat penghematan listrik dari PLTS atap.

“Selain itu infrastruktur bangunan di Indonesia masih belum mampu mendukung penggunaan solar panel atap konvensional yang terlalu berat,” kata dia.(Ert/rif)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *