

Pilkada dan Energy Untuk Rakyat-nya
ENERGI February 18, 2018 Editor SitusEnergi 0

Oleh :
Sofyano Zakaria
Setelah 72 tahun negeri ini merdeka, saya harus berani jujur berkata, bahwa, barulah sekarang ini ada program BBM Satu Harga yang diwujudkan di wilayah Terdepan, Terluar, Tertinggal atau disebut wilayah 3T.
Sejatinya , jika saja kepala daerah yang wilayah memiliki 3T tersebut, kreatif berfikir atau setidaknya rajin bersuara , maka, mestinya BBM Satu Harga bisa diwujudkan sejak lama.
Sejatinya, Pengentasan “problem” BBM Satu Harga pada wilayah 3T, seharusnya tidak harus bergantung kepada Presiden atau menteri terkait saja.
Rakyat negeri ini sudah mengetahui bahwa beberapa bulan lagi , ditahun 2018 ini, Pemilihan Kepala Daerah, Pilkada, akan berlangsung.
Sebagaimana Pilkada pilkada yang telah berjalan sebelumnya, jelang pilkada, maka masa kampanye akan dipenuhi dengan teriakan tebar program,tebar pesona dan tebar janji, yang semua itu diuntukan memikat, menarik perhatian para pemilih agar nanti memilih balon kepala daerah itu.
Program atau janji pada Kampanye yang disuarakan itu, saya perhatikan pada pilkada pilkada yang ada selama ini, nyaris tak pernah menyuarakan program yang khusus terkait ketahanan energy daerahnya.
Padahal, energy dan ketahanan energy daerah, punya peranan yang teramat penting bagi kehidupan, perekonomian , sosial, politik dan keamanan.
Energy dan ketahanan energy, nyaris dinilai oleh pihak pemerintah daerah,lebih merupakan domain kepentingan pemerintah pusat. Bahkan terkait bahan bakar minyak dan elpiji, malah “dianggap” sebagai kewajiban dan “domainnya” BUMN Pertamina.
Pertamina, sebagai sebuah bumn terksan “dipaksa” terbebani dengan kewajiban dan penugasan yang begitu besar, termasuk menjamin ketersediaan stock bbm dan elpiji buat bangsa ini yang harus dibiayai (baca : ditalangi pembiayaannya) oleh Pertamina.
Pertamina yang pada dasarnya adalah sebuah badan usaha, lembaga bisnis, diposisikan “menjamin” ketahanan energy bangsa ini. Sungguh sulit dimengerti.
Dan, walau terkesan “ter-engah engah” , namun terbukti sejak negeri ini merdeka, Pertamina ternyata bumn ini mampu menjalankan penugasan ini.
Namun yang patut dipertanyakan,apakah akan selamanya BUMN ini bisa melakukan itu? Apakah dijamin bahwa bumn ini selamanya akan menghasilkan laba dan memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai itu?
Sejatinya, beban pertamina bisa ditanggung bersama , dibantu dan terbantukan , jika saja, Kepala Daerah dan perangkat pemerintah yang ada termasuk DPRD nya, bisa dan mau membuat program ketahanan energy daerah dengan menyediakan anggaran daerah untuk mewujudkan itu.
Pemerintah Daerah, dengan peran kuat kepala daerah dan anggota anggota dewan di daerah, harusnya bisa menyiapkan membangun infrastruktur energy di daerahnya.
Pemerintah daerah bisa Membangun infrastruktur yang memadai untuk lancarnya distribusi bbm dan elpiji dengan membangun infrastruktur berupa depo depo mini sajalah untuk penimbunan bbm dan elpiji, membagun jalan, jembatan dan dermaga dermaga yang memenuhi ketentuan undang undang yang berlaku untuk menunjang kelancaran pendistribusian bbm dan elpiji bagi rakyat daerah.
Misalnya saja di kepulauan Karimun Jawa di wilayah Jawa Tengah, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di kepulauan yang tergolong wilayah 3T tersebut, hingga kini belum tersedia dermaga yang bisa disandari kapal khusus pengangkut bbm dan elpiji. Sehingga bbm dan elpiji yang dalam UU Pelayaran ditetapkan sebagai barang berbahaya, terpaksa harus diangkut dengan kapal pelayaran rakyat yang tidak memenuhi ketentuan perundang undangan. Ini bagai buah si malakama.
Jika harus memenuhi ketentuan Undang Undang , maka bisa dipastikan rakyat tidak bisa mendapatkan bbm dan elpiji karena dikepulauan itu belum ada dermaga khusus yang memenuhi ketentuan UU untuk bisa disandari mini tanker bbm atau elpiji.
Demikianlah juga hal nya dengan daerah daerah lain , misalnya di wilayah kepulauan Seribu atau di papua sana, yang saat ini sedang jadi sasaran program BBM satu harga.
Pemerintah Daerah, sesungguhnya, nyaris bisa dipastikan, memiliki kemampuan membangun infrastruktur itu.
Pemda bisa meminta anggaran dari pemerintah pusat untuk membangun depo depo mini bbm dan elpiji di daerah nya yang belum dimiliki oleh Pertamina.
Dan ini tidak bisa dilakukan oleh Pertamina yang harus membangun dengan “uangnya” sendiri sementara Pertamina sudah sarat dengan beban dan kewajiban lain yang dibebankan kepadanya.
Pada sisi pendistribusian elpiji subsidi, elpiji 3 kg, harusnya kepala daerah bisa membuat program mewujudkan Elpiji Satu Harga diseluruh wilayah kewenangannya.
Harga Eceran Tertinggi atau HET elpiji , selama ini dibuat dan ditetapkan oleh Pemda, tetapi nyatanya, rakyatnya nyaris membeli elpiji 3kg tidak pernah sesuai dengan ketentuan HET yang pemda lahirkan itu. Ini sangat aneh dan menjadi semakin aneh ternyata tetap berjalan mulus tak pernah dipermasalahkan oleh pemda .
Sejatinya , Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah bisa berperan langsung mengatasi hal itu.
Mata rantai distribusi elpiji secara peraturan, terbatas hanya pada Pertamina dan agen elpiji saja.
Ini bermakna bahwa Pemda punya kewenangan melakukan pengawasan, penataan dan pembinaan terhadap pangkalan pangkalan dan pengecer pengecer elpiji yang ada di wilayahnya.
Peranan pemda dalam mengawasi, membina dan menata pangkalan pangkalan dan pengecer pengecer elpiji jika dilakukan dengan tepat , niscaya bisa mewujudkan Elpiji Satu Harga pada wilayahnya. Dan memang, nyatanya Harga Elpiji Subsidi , selama ini belum satu Harga. Padahal ini tidak terkait dengan wilayah 3T yang sampai harus perlu ada program langsung dari Presiden.
Kita tunggu , apakah setelah pilkada yang akan berlangsung dalam waktu dekat ini, ketahanan energy daerah bisa terwujud karena upaya dan peranan dari kepala daerah yang akan berkuasa nanti. (•)
No comments so far.
Be first to leave comment below.