


Jakarta, Situsenergy.com
PT Pertamina (Persero) memperkirakan pendapatan yang diraupnya akan menyusut 38 persen sampai 45 persen dari target yang tertuang dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2020 sebesar US$58,3 miliar.
Menurut Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, estimasi ini berasal dari asumsi skenario terburuk pada harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oils Price/ICP) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Saat ini, dinamika perekonomian global dan nasional menekan kedua indikator tersebut.
“Dari simulasi ini, bisa dilihat untuk yang terberat penurunan pendapatan perusahaan dibandingkan RKAP mencapai 38 persen dan untuk yang sangat berat 45 persen dari RKAP,” ungkap Nicke.
Untuk skenario berat, Pertamina mengasumsikan ICP berada di kisaran US$38 per barel. Sementara, nilai tukar rupiah menyentuh angka Rp17.500 per dolar AS.
Apabila skenario ini terjadi, kemungkinan pendapatan Pertamina akan hilang sekitar US$22,15 miliar atau 38 persen dari target RKAP. Dengan begitu, pendapatan BUMN migas tersebut kemungkinan hanya tersisa US$36,14 miliar pada tahun ini.
Sedangkan untuk skenario sangat berat, ICP diasumsikan menyentuh angka US$31 per barel dan kurs rupiah menembus Rp20 ribu per dolar AS. Bila skenario ini terjadi, maka kemungkinan pendapatan hilang US$26,23 miliar, sehingga tersisa US$32,06 miliar.
Untuk memitigasi skenario terburuk ini, Nicke menerangkan perusahaan telah mengantongi beberapa strategi, mulai dari menunda eksplorasi sumur baru dan menurunkan batas operasional ke level rendah.
“Dengan menurunkan investasi, tapi produksi sesuai target. Karena secara teknis, itu kurang baik jadi kami lakukan bertahap, diturunkan sesuai demand,” jelasnya.
Tak ketinggalan, perusahaan juga akan melakukan efisiensi dan menekan perencanaan pengolahan minyak mentah karena harga tengah meningkat di domestik. Di sisi lain, mungkin pula dengan meningkatkan impor minyak. “Impor sedang murah, saat tepat untuk meningkatkan stok yang dilakukan untuk menurunkan HPP BBM dan LPG kami selama covid-19,” pungkasnya.
Penjualan Anjlok 34 Persen
Nicke jugq mengungkapkan, bahwa penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) merosot tajam akibat penyebaran virus corona (covid-19).
“Berdasarkan data yang dimilikinya, secara nasional penurunan penjualan BBM mencapai 34,9 persen per Kamis (16/4) ini. Penurunan tersebut dibandingkan rata-rata penjualan pada Januari dan Februari 2020,” kata Nicke .
Ia mengatakan penurunan terbesar penjualan BBM terjadi di DKI Jakarta, yakni 59 persen. “Penurunan kedua terbesar terjadi di Bandung sebesar 57 persen, dan Makassar 53 persen. Sementara itu, penurunan permintaan di kota lain rata-rata di atas 45 persen,” ujarnya.
“Penurunan permintaan dihitung berdasarkan ketika pemerintah mengumumkan dan memutuskan WFH di sebagian daerah. Tapi sebetulnya dengan PSBB di DKI Jakarta dan di beberapa daerah lainnya, maka permintaan akan semakin tertekan,” tambah.dia
Selain BBM, lanjut Nicke, masalah sama juga terjadi pada penjualan avtur. Bahkan, penurunan penjualan avtur sampai 60 persen. :Penurunan terjadi karena sebagian besar penerbangan sudah berhenti akibat penyebaran virus corona,” tukasnya.
Nicke mengatakan, bahwa penjualan tersebut berdampak negatif pada kinerja keuangan perusahaan minyak pelat merah itu. “Pasalnya, di tengah penurunan permintaan, Pertamina juga mendapatkan dua pukulan dari sentimen global. Pertama, pelemahan harga minyak mentah global yang terjadi akibat kenaikan pasokan,” paparnya.
Seperti diketahui, pada Rabu (15/4), minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei turun US$1,91 atau 6,45 persen ke posisi US$27,69 per barel. Sementara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei merosot 24 sen atau 1,19 persen menjadi US$19,87 per barel.
“Harga tersebut hanya setengah dari target perseroan dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) 2020. Pukulan kedua, dari pelemahan nilai tukar rupiah,” tukasnya.
Nicke menambahkan pelemahan tersebut memberatkan Pertamina. Pasalnya, di satu sisi pihaknya harus membayar impor minyak menggunakan dolar AS. Tapi, di sisi lain pihaknya menjual dengan hasil rupiah. Pada Kamis (16/4) pukul 14.00 WIB rupiah melemah 0,90 persen ke level Rp15.715 per dolar AS.
“Situasi ini belum pernah terjadi, dilihat dari sales merupakan terendah dalam sejarah pertamina. Kondisi ini berdampak ke operasional kilang dan keuangan Pertamina,” pungkasnya.(Ert/rif)
No comments so far.
Be first to leave comment below.