

Pentingnya Pengakhiran Operasional PLTU Batubara untuk Kejar Target Penurunan Emisi
ENERGI TERBARUKAN June 20, 2023 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, Situsenergi.com
Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak pemerintah Indonesia melakukan transformasi sektor ketenagalistrikan untuk mencapai emisi puncak di 2030 dan netral karbon di 2050. Hal ini sejalan dengan komitmen Presiden Joko Widodo untuk mencapai net-zero emission 2060 atau lebih awal sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia mengurangi ancaman pemanasan global.
Berdasarkan data Climate Watch, sektor energi menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Secara global,
sektor tersebut menghasilkan 36,44 gigaton karbon dioksida ekuivalen (Gt CO2e) atau 71,5% dari total emisi.
Sementara itu, berdasarkan laporan Ember Climate Indonesia menempati urutan ke-9 penghasil emisi CO2 terbesar
dari sektor ketenagalistrikan di dunia, mencapai 193 juta ton CO2 pada 2021. Untuk itu, pemerintah harus mengejar
penurunan emisi yang signifikan di sektor energi, khususnya terhadap sektor ketenagalistrikan.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyatakan, sebagai salah satu negara ekonomi terbesar sekaligus pengemisi
terbesar di dunia, Indonesia diharapkan menunjukan kepemimpinan dan komitmen melakukan dekarbonisasi sektor
energinya lewat kebijakan dan rencana transisi energi. Komitmen politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus
diterjemahkan ke dalam serangkaian kebijakan, regulasi dan rencana yang selaras, satu dengan lainnya.
“Ada indikasi bahwa komitmen politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) coba untuk dimentahkan dan didegradasi oleh
sejumlah pihak yang enggan melakukan transisi energi, dan ujung-ujungnya ingin mempertahankan status quo, yaitu
tidak mengurangi konsumsi batubara dalam penyediaan listrik,” ujarnya.
“Untuk itu, Presiden harus mengamati dengan lebih rinci
bahwa ada pihak-pihak yang enggan melakukan transisi energi dengan cepat dan mencoba menurunkan derajat ambisi
pemerintah dan melakukan buying time hingga mereka dapat mengubah keputusan politik tersebut,” ssmbung Fabby.
Sementara Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi menegaskan, IESR memandang penghentian PLTU batubara di
Indonesia menjadi hal yang penting. Sebagai salah satu penerima komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030, dan menaikkan bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan menjadi 34% pada 2030.
“Target yang tercanang di komitmen JETP lebih tinggi dibandingkan kebijakan dan perencanaan yang sudah ditetapkan
saat ini. Misalnya saja, target emisi mencakup sektor ketenagalistrikan secara keseluruhan dan juga bauran energi
terbarukan yang 10% lebih tinggi dibandingkan dengan RUPTL 2021-2030 milik PLN,” kata Deon Arinaldo.
“Artinya, untuk mencapai target
tersebut dalam kurun waktu kurang lebih 7 tahun, perlu transformasi tidak hanya di perencanaan sistem kelistrikan
seperti penghentian operasi PLTU batubara,” lanjut Deon.

Dengan asumsi semua pembangkit, termasuk PLTU batubara, yang direncanakan di dalam RUPTL 2021-2030
terbangun, IESR menghitung untuk mengejar target JETP setidaknya sebanyak 8,6 GW PLTU batubara harus
dipensiunkan sebelum 2030 diikuti dengan pengakhiran operasi 7,6 GW PLTU sebelum 2040.
“Dari sisi kebijakan, akselerasi pengembangan energi terbarukan dan disinsentif ke investasi untuk pembangkit energi fosil juga perlu untuk
terus didorong,” ujarnya.
Peneliti Sistem Ketenagalistrikan, Akbar Bagaskara mengatakan, bahwa berdasarkan laporan Delivering Power Sector Transition, IESR menemukan bahwa dari 13,8 GW PLTU yang direncanakan pembangunannya dalam RUPTL 2021-2030 sebanyak 2,9 GW dapat dibatalkan, 10,6 GW perlu diakhiri operasinya secara dini.
“Dan 220 MW dipertimbangkan untuk diganti dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti biomassa. Pembatalan 2,9 GW PLTU merupakan opsi termurah untuk menghindarkan emisi GRK di sektor ketenagalistrikan,” ujarnya.
Dari analisis yang dilakukan di laporan ini, kata dia, pembatalan pembangunan PLTU batubara yang dibarengi dengan
pensiun dini bagi PLTU dapat membantu mencapai target puncak emisi yang disepakati dalam JETP.
“Kami memperkirakan ada 5,6 GW PLTU yang harus dipensiunkan sebelum 2030 jika 2,9 GW PLTU dapat dibatalkan
pembangunannya,” ucapnya.
Sementara Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR mengungkapkan, berdasarkan kajian IESR yang berjudul Financing Indonesia’s coal phase out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero menemukan, penghentian operasi PLTU batubara bermanfaat dari segi ekonomi dan sosial seperti terhindarnya biaya subsidi listrik yang diproduksi dari PLTU batubara dan biaya kesehatan yang masing-masing berjumlah $34,8 dan $61,3 miliar—2 kali sampai 4 kali lebih besar—dari biaya aset terbengkalai (stranded asset), penghentian pembangkit (decommissioning), transisi pekerjaan, dan kerugian penerimaan negara dari batubara.
“Hingga tahun 2050, diperkirakan akan diperlukan biaya investasi untuk pengembangan energi terbarukan dan
infrastruktur pendukung, sebagai pengganti dari PLTU batubara yang dipensiunkan, sebesar $1,2 triliun. Dukungan pendanaan internasional tentunya akan dibutuhkan untuk mewujudkan hal ini. Namun, dengan melakukan pensiun dini PLTU dan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia diperkirakan akan ada 168,000 kematian yang bisa dihindarkan hingga tahun 2050,” pungkasnya.(Ert/SL)
No comments so far.
Be first to leave comment below.