Home OPINI Opini SZ: Penyaluran Elpiji 3 Kg Berbasis NIK: Solusi Administratif yang Belum Menyentuh Akar Masalah
OPINI

Opini SZ: Penyaluran Elpiji 3 Kg Berbasis NIK: Solusi Administratif yang Belum Menyentuh Akar Masalah

Share
penyaluran elpiji 3 kg berbasis nik solusi administratif yang belum menyentuh akar masalah
Share

Rencana Pemerintah Indonesia untuk menetapkan penyaluran elpiji 3 kg bersubsidi berbasis NIK (Nomor Induk Kependudukan) kembali berpeluang memunculkan perdebatan di tengah masyarakat.
Di satu sisi, kebijakan ini diklaim sebagai langkah memperbaiki tata kelola subsidi agar tepat sasaran. Namun di sisi lain, kebijakan ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah benar penyaluran elpiji 3 kg berbasis NIK akan menyelesaikan persoalan utama subsidi? Ataukah hanya menambah lapisan administrasi tanpa menyentuh akar masalah?

Praktek di Lapangan Sudah Berbasis Identitas

Jika kita jujur melihat praktek di lapangan, sebagian besar pangkalan elpiji 3 kg sebenarnya sudah lama menerapkan sistem pencatatan berbasis identitas. Warga sekitar pangkalan yang membeli elpiji 3 kg umumnya telah diminta menyerahkan fotokopi KTP. Data tersebut kemudian dicatat dan dilaporkan secara berkala kepada Agen dan Pertamina sebagai bagian dari kewajiban administrasi.

Artinya, secara faktual, penyaluran elpiji 3 kg tidak sepenuhnya bebas dan liar seperti yang sering digambarkan. Ada mekanisme pengawasan, meski tentu masih memiliki kelemahan. Dengan kondisi seperti ini, muncul pertanyaan wajar: apa perbedaan substansial antara sistem yang sudah berjalan dengan sistem baru berbasis NIK?

Jika yang berubah hanya alat pencatatannya-dari buku manual ke sistem digital-tanpa perubahan kriteria penerima, maka kebijakan ini lebih tepat disebut sebagai pembaruan administrasi, bukan reformasi subsidi.

NIK Bukan Penentu Tepat Sasaran

Masalah utama dari penyaluran elpiji 3 kg adalah soal “siapa yang berhak”. Dalam konteks ini, penggunaan NIK sebagai dasar penyaluran menimbulkan persoalan serius. NIK adalah identitas kependudukan, bukan indikator kondisi sosial ekonomi.

Seseorang yang memiliki NIK bisa saja tergolong masyarakat miskin, tetapi bisa juga merupakan orang kaya dengan rumah mewah dan kendaraan lebih dari satu.
NIK tidak mencerminkan pendapatan, kepemilikan aset, maupun tingkat kemampuan ekonomi. Maka, menjadikan NIK sebagai basis penyaluran subsidi berisiko besar menimbulkan ilusi ketepatan sasaran.

Kebijakan ini seolah-olah memberi kesan bahwa selama data tercatat rapi dan berbasis NIK, maka subsidi sudah tepat sasaran. Padahal, substansi tepat sasaran bukan soal siapa yang tercatat, melainkan siapa orang yang tidak mampu yang membutuhkan.

Siapa Sebenarnya yang Berhak?

Pertanyaan mendasar yang hingga kini belum dijawab secara tegas adalah: siapa sebenarnya yang dinyatakan berhak atas elpiji 3 kg? Apakah semua pemilik KTP? Apakah semua rumah tangga? Ataukah hanya kelompok tertentu?

Selama definisi “penerima yang berhak” tidak dijelaskan secara jelas dan tegas, maka sistem berbasis NIK hanya akan memindahkan masalah dari lapangan ke layar komputer. Subsidi tetap akan bisa dinikmati oleh kelompok yang tidak berhak, sementara masyarakat kecil tetap harus berjuang mendapatkan elpiji bersubsidi.

Tanpa kriteria sosial ekonomi yang jelas, sistem ini berpotensi menciptakan ketidakadilan baru: warga miskin dibatasi kuota, sementara warga mampu tetap bisa mengakses elpiji 3 kg karena memiliki NIK yang sah.

Listrik Subsidi 900 VA: Indikator yang Lebih Masuk Akal

Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin menyalurkan subsidi secara lebih tepat sasaran, sebenarnya ada indikator yang jauh lebih relevan dan mudah diterapkan, yaitu daya listrik rumah tangga.
Rumah tangga dengan daya listrik subsidi maksimal 900 VA secara umum dapat diasumsikan sebagai kelompok ekonomi menengah ke bawah.

Penggunaan daya listrik subsidi sebagai patokan penerima elpiji 3 kg memiliki beberapa keunggulan. Pertama, data pelanggan listrik sudah tersedia dan terverifikasi.
Kedua, daya listrik mencerminkan tingkat kemampuan ekonomi rumah tangga secara lebih realistis dibandingkan NIK.
Ketiga, pendekatan ini relatif lebih adil karena langsung menyasar rumah tangga yang memang mendapat subsidi negara di sektor lain.

Pertanyaannya kemudian: mengapa pemerintah tidak berani menggunakan indikator ini? Apakah karena pertimbangan politis, teknis, atau sekadar enggan melakukan perubahan yang menyentuh kepentingan banyak pihak?

Harga Tebus Agen yang Tidak Pernah Dikoreksi

Masalah lain yang tak kalah penting namun jarang dibahas secara terbuka adalah harga tebus elpiji 3 kg dari Agen ke Pertamina. Selama belasan tahun, harga tebus ini nyaris tidak pernah berubah, yaitu sekitar Rp11.585 per tabung dan Harga Tebus ini (juga HET) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri ESDM.

Mengapa Tidak Menyesuaikan dengan HET Daerah?

Pemerintah Daerah yang diberi kewenangan ternyata sangat aktif dan terkesan peduli dengan Harga Jual elpiji bersubsidi ke Rakyat. TErkesan menaikan Harga Jual ke Masyarakat bukan lah beban buat Pemda dan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) elpiji 3 kg dengan perkiraan rata-rata telah menaikan HET sekitar Rp21.000 per tabung dari besar HET Rp12.750/tabung yang ditetapkan Pemerintah Pusat. Dan yang ironisnya, harga tebus agen ke Pertamina tetap bertahan di angka lama yang sangat jauh di bawah HET dan ini kenaikan HET itu tidak mengurangi beban negara atas subsidi dan bisa dikatakan malah menambah besar beban masyarakat.

Jika pemerintah berani menyesuaikan harga tebus agen ke Pertamina mendekati atau proporsional dengan HET daerah, maka beberapa masalah bisa sekaligus diselesaikan. Pertama, rantai distribusi menjadi lebih sehat dan realistis.
Kedua, ruang bagi permainan harga di lapangan bisa dipersempit.
Ketiga, beban subsidi negara secara perlahan bisa dikurangi tanpa harus mengorbankan masyarakat kecil.

Kenaikan harga tebus di tingkat agen tidak serta-merta berarti harga di tingkat konsumen harus melonjak tajam, selama disertai kebijakan kompensasi yang tepat bagi kelompok miskin.

Subsidi Harus Dikoreksi, Bukan Sekadar Dicatat

Penyesuaian harga tebus Agen ke Pertamina pada dasarnya adalah langkah koreksi subsidi, bukan penghapusan.
Negara tetap hadir membantu rakyat kecil, tetapi dengan skema yang lebih rasional dan berkelanjutan. Sayangnya, pemerintah terlihat lebih fokus pada pembenahan sistem pencatatan dibandingkan perbaikan struktur subsidi itu sendiri.

Padahal, digitalisasi tanpa koreksi kebijakan hanya akan menghasilkan data yang rapi tentang masalah yang sama. Negara tahu siapa membeli berapa, tetapi tidak memperbaiki ketimpangan siapa yang seharusnya membeli.

Risiko Sosial di Masyarakat

Penerapan sistem berbasis NIK juga berpotensi menimbulkan gesekan sosial di tingkat akar rumput. Pangkalan bisa berada dalam posisi sulit ketika harus menolak warga yang secara administratif terdaftar tetapi secara kuota sudah habis. Konflik antara warga, pangkalan, dan aparat setempat sangat mungkin terjadi.

Selain itu, masyarakat kecil yang kurang melek teknologi berisiko semakin terpinggirkan. Alih-alih memudahkan, sistem baru justru bisa menciptakan hambatan baru bagi mereka yang paling membutuhkan.

Penutup: Perlu Keberanian Politik

Pada akhirnya, persoalan elpiji 3 kg bukan sekadar soal data, NIK, atau sistem digital. Ini adalah soal keberanian politik untuk mendefinisikan ulang subsidi: siapa yang berhak, berapa yang wajar, dan bagaimana negara hadir secara adil.

Penyaluran berbasis NIK tanpa indikator sosial ekonomi yang jelas hanyalah solusi semu. Pemerintah perlu berani menggunakan patokan yang lebih relevan, seperti listrik subsidi 900 VA, serta berani mengoreksi harga tebus agen yang sudah terlalu lama dibiarkan tidak realistis.

Subsidi yang tepat sasaran bukan soal seberapa canggih sistemnya, tetapi seberapa jujur negara mengakui realitas di lapangan dan berani memperbaikinya. Tanpa itu, elpiji 3 kg akan terus menjadi sumber masalah yang berulang, meski dibungkus dengan kebijakan baru yang terdengar modern. [•]

Share

Leave a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Articles

Gerakan Bawah Tanah Prabowo Swasembada Energi

Oleh : Salamuddin Daeng Sebenarnya kalau direnungkan langkah langkah pokok presiden Prabowo...

Akses Jalan Menjadi Kunci Pemulihan Listrik Pascabencana di Aceh dan Sumatera

Oleh: Sofyano ZakariaPengamat Kebijakan EnergiDirektur Pusat Studi Kebijakan Publik (PUSKEPI) Pemulihan layanan...

Respons Cepat PLN di Wilayah Bencana Layak Diapresiasi dan Jadi Pelajaran Penguatan Kebijakan Energi Nasional

Oleh: Sofyano ZakariaPengamat Kebijakan Energi Bencana alam yang melanda sebagian wilayah Sumatera...

Puskepi Apresiasi Sigapnya Pertamina dan PLN dalam Pemulihan Distribusi Energi di Wilayah Bencana Sumatera

Jakarta, situsenergi.com Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) menyampaikan apresiasi tinggi terhadap langkah...