

Mengurai Simpul Kusut Kelangkaan BBM Solar, Ini Dosa Siapa?
MIGAS October 24, 2021 Editor SitusEnergi 0

Oleh : Ferdinand Hutahaean
Seminggu lebih sudah berlalu kabar tentang kelangkaan Solar terus menggelinding dan belum terselesaikan secara baik. Tentu hal
Ini menimbulkan pertanyaan tentang apa penyebabnya dan siapa yang bertanggung jawab atas kelangkaan ini.
Kelangkaan BBM jenis Solar ini tentu bukan yang pertama terjadi dinegeri kita, pernah beberapa kali terjadi diera-era pemerintahan sebelumnya dan dulu. Namun kemajuan teknologi dan berkembangnya industri seharusnya tidak lagi kita mendengar kelangkaan terjadi, inilah yang membuat publik bertanya-tanya ada apa dan mengapa serta siapa.
Dalam tulisan ini saya tak ingin menjustifikasi pihak manapun sebagai pihak yang berdosa atau bersalah atas kelangkaan Solar ini, tapi saya berharap bahwa dengan tulisan ini semua pihak bisa berdiri didepan cermin dan mengoreksi serta mengevaluasi peran masing-masing. Karena soal BBM ini bukan hanya Pertamina saja yang mengurus karena Pertamina sekarang hanya eksekutor kebijakan dan bukan lagi sebagai regulator sekaligus eksekutor. Pertamina menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh pihak-pihak pemangku kewenangan.
Yang disana ada Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas atau BPH Migas yang sekarang dipimpin oleh Erika Retnowati.
Sesuai namanya, Badan inilah yang mengatur alokasi BBM dan kuota BBM setiap tahunnya serta mengawasi distribusi yang dilakukan oleh Pertamina.
Kedua ada Kementerian ESDM dengan Dirjen Migas sebagai regulator terkait apapun yang menyangkut sektor Migas.
Ketiga ada Pertamina dan Sub Holding nya Patra Niaga yang menjadi tulang punggung pokok dalam distribusi hilir BBM dan Gas.
Keempat ada PT Kilang Pertamina yang memproduksi BBM yang dijual di SPBU dan terakhir kelima ada pihak Swasta yang mensuplay Famme atau campuran Bio Solar untuk produks Solar Pertamina.
Lantas dimana simpul sumbatan yang terjadi sehingga BBM Solar bisa langka dibeberapa tempat?
Jika melihat kemajuan teknologi di Pertamina dengan sistem digitalisasi yang ada, seharusnya Pertamina atau Patra Niaga jauh-jauh hari bisa mengetahui dititik mana kebutuhan meningkat, dimana ketersediaan Solar kurang dan dimana jatah alokasi kuota tidak mencukupi.
Maka, tidak seharusnya kelangkaan ini terjadi bila memang fungsi digitalisasi berfungsi dengan baik karena digitalisasi ini juga terhubung dengan Kilang Pertamina sehingga Kilang bisa mengatur produksinya. Dan tugas ini sepertinya dan seharusnya mampu dilaksanakan oleh Pertamina dengan teknologi dan SDM yang dimilikinya. Pertanyaannya, apakah sistem digitalisasi yamg sudah terhubung dari hulu Kilang hingga hilir di SPBU tidak berfungsi? Perlu penjelasan soal ini dari Pertamina dan Patra Niaga. Logikanya, jika semua alat produksi di hulu hingga distribusi di hilir tidak ada masalah, maka Solar harus tersedia, tidak boleh langka.
Setelah sisi Pertamina dan Patra Niaga, bagaimana dengan sisi Kebijakan BPH Migas?
Adakah BPH tidak cermat menghitung kebutuhan BBM disetiap daerah? Apakah BPH Migas tidak profesional mengamati dan menganalisa kebutuhan rakyat?
Alasan tentang naiknya kebutuhan pasca mulai pulihnya ekonomi ditengah pandemi vovid yang mulai stabil seharusnya tidak bisa dijadikan alasan. Sebab jika itu dijadikan alasan, maka kesimpulannya adalah BPH Migas tidak profesional, tidak cermat dan tidak mampu menganalisa kebutuhan yang harus dihitung dari kebijakan pemerintah terhadap pengendalian covid dan harus dihitung dari pergerakan masyarakat. Ini sangat mudah dan pekerjaan yang tak sulit.
Lantas pertanyaannya, ada apa dengan BPH Migas? Adakah BPH mang tidak profesional? Terakhir BPH Migas mengeluarkan rekomendasi atau relaksasi tentang kuota BBM sehingga Pertamina dan Patra Niaga bisa mendistribusikan Solar lebih banyak dari kuota. Kebijakan ini seolah mengkonfirmasi bahwa BPH Migas memang tak profesional, tidak cermat, gagal dan tidak mampu mengemban tugasnya secara baik.
Yang berikut adalah disisi swasta para pengusaha suplier Famme campuran Solar utnuk Biosolar. Adakah suplay terkendala hingga jumlah produksi tak bisa maksimal? Kita mengetahui sekarang kenaikan harga Sawit cukup signifikan bahwa tertinggi sepanjang sejarah.
Mungkinkah produk dialihkan oleh pengusaha untuk mencari untung lebih banyak? Entahlah, tapi mestinya sistem digitalisasi bisa memantau ini semua.
Selanjutnya adalah, sistem telah ada dan tersedia untuk mengetahui ketersediaan dan kecukupam BBM disetiap daerah atau wilayah. Digitalisasi sudah terkoneksi dari hulu hingga hilir sehingga pasti mengetahui kebutuhan dan ketersediaan. Mengapa sampai TBBM kosong? Apakah Pertamina tak
Mengetahui? Padahal kita selalu mendengar bagaimana Pertamina selalu mengumumkan tentang kecukupan dan cadangan BBM kita hingga 17-23 hari kebutuhan. Tapi mengapa SPBU bisa kehabisan dan tak mampu disuplay oleh Pertamina? Adakah data itu semua tidak benar? Rasanya tak mungkin Pertamina berbohong soal data cadangan BBM.
Jadi dimana simpul sumbatan kelangkaan Solar ini?
Pendapat saya mengusulkan agar BPH Migas ditutup dibubarkan saja karena tidak mampu melaksanakan fungsinya secara benar dan hanya membebani harga BBM karena BPH mengutip iuran dari semua BBM maupun Gas.
Lebih baik kembalikan ke Pertamina sebagai operator tunggal dan melaksanakan fungsinya sebagai BUMN yang menjaga hakat hidup orang banyak.
Semoga ada penyelidikan atas penyebab kelangkaan ini supaya kita bisa berbenah kedepan.
Ini sangat memalukan karena era teknologi maju ini dan pembangunan sistem digitalisasi di Pertamina sangat besar anggarannya.
Jangan sampai uang keluar tapi tak memperbaiki kinerja.
Soal fungsi pengawasan bisa dilakukan oleh masyarakat independen dan Komisi VII serta Dirjen Migas. BPH Migas tak perlu dipertahankan karena dari semua ini sepertinya disanalah akar masalah bukan di Pertamina. [•]
*Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia
-Ketua Umum Yayasan Keadilan Masyarakat Mandiri.
No comments so far.
Be first to leave comment below.