Jakarta, Situsenergi.com
Komitmen PT PLN (Persero) untuk meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk institusi perbankan internasional. Salah satunya, melalui proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata yang telah mencapai kesepakatan financial close pada 2 Agustus 2021.
Sindikasi tiga bank internasional yaitu Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), Societe Generale dan Standard Chartered Bank siap mendanai pembangunan PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara ini dengan nilai sekitar USD 140 juta. Proyek berkapasitas 145 MWAc tersebut diperkirakan akan beroperasi komersial (Commercial Operation Date/COD) pada November 2022.
Terkait hal ini, Praktisi Kelistrikan Jumadis Abda mengaku sangat mendukung proyek tersebut, karena dari sisi bauran energi kelistrikan hal ini sangat menarik. Apalagi ini termasuk renewable energi, yakni energi terbarukan yang memanfaatkan energi sinar matahari.
‘Dari sisi harga juga sangat kompetitif. Hanya 5.8 cent US$/kWh atau sekitar Rp 850/kWh saja. ini cukup rendah. Berarti ada margin bagi PLN bila dijual ke pelanggannya. Harga jual daya R1 1300 VA saat ini per kWh adalah Rp 1.444,7, jadi cukup menjanjikan bagi PLN,” kata Jumadis kepada Situsenergi.com di Jakarta, Rabu (04/8/2021).
Namun menurut mantan Ketua Umum SP PLN ini, jika dilihat dari sisi kebutuhan maka hal ini perlu diwaspadai. Karena proyek ini justru bisa menambah beban bagi PLN.
“Apakah kWh yang dihasilkan dapat diserap PLN? Jangan sampai setelah selesai pembangunannya justeru kWh tidak terserap. Apalagi di saat kondisi sistem Jawa Bali yang sudah kelebihan beban/daya,” cetusnya.
Menyirut dia, akibat program 35.000 MW yang dibangun sangat berlebih dan dilakukan oleh swasta dengan take or pay nya, sistem Jawa Bali saat ini sudah sekitar 45 % reserve marginnya.
“Dan ini akan makin meningkat sejalan akan masuknya pembangkit IPP yang COD. Seperti PLTU Batang 2 x 1000 MW. Padahal kWh yang tidak terserap harus dibayar oleh PLN, atau mematikan (reserve shutdown) pembangkit PLN eksisting yang lebih murah biaya operasinya,” bebernya.
“Hal ini pasti akan semakin membebani PLN yang kalau tidak kuat pasti akan ditombokin dari uang negara juga. Yang pasti ‘subsidi’ ke PLN pasti akan meningkat. Padahal saat ini negara juga kesulitan keuangan. Namanya bisa subsidi atau kompensasi atau ‘dalam bentuk subsidi penjualan kWh’,” lanjut Jumadis.
PLN Optimis
Terkait proyek pembangunan PLTS Terapung Cirata, Direktur Utama PT PLN (Persero) Zulkifli Zaini mengungkaokan, bahwa pencapaian tahap financial close merupakan hasil dukungan penuh PLN sebagai pembeli listrik PLTS Cirata dan PT PJB (Pembangkitan Jawa Bali), selaku induk dari PT PJB Investasi (PJBI) dan Pembangkitan Jawa Bali Masdar Solar Energi (PT PMSE).
“Kami optimistis pembangkit ramah lingkungan ini bisa beroperasi komersial sesuai jadwal pada akhir 2022. Kehadiran dari PLTS Terapung Cirata akan menjadi revolusi pengembangan EBT di dalam negeri, mengingat pembangkit listrik ini dapat mengimbangi 214.000 ton emisi karbon dioksida,” paparnya.
Pembangunan proyek strategis nasional yang juga masuk dalam pilar “GREEN” transformasi PLN ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pencapaian target bauran energi baru terbarukan nasional sebesar 23 persen pada 2025.
“Keberhasilan pengembangan proyek ini, ke depannya diharapkan akan mendorong proyek-proyek terobosan di bidang EBT dengan harga yang kompetitif,” ungkap Zulkifli.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pahala Nugraha Mansury mengatakan, sebagai proyek strategis nasional, PLTS Terapung Cirata diharapkan dapat menjadi percontohan untuk pengembangan pembangkit EBT di daerah lain.
“Kehadiran PLTS Terapung Cirata bisa membuat Indonesia mencapai target bauran EBT 23 persen di 2025, serta mendukung upaya pengurangan emisi secara signifikan,” katanya.(SL)
Leave a comment