

Lifting Migas Diproyeksi Turun, Tapi Beban Cost Recovery Justru Naik
ENERGI June 21, 2019 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, situsenergy.com
Pemerintah memproyeksikan jumlah cost recovery atau biaya pengembalian yang harus dibayarkan pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sepanjang tahun ini mencapai USD11,46 miliar. Perkiraan ini alokasi anggaran yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar USD10,22 miliar.
Hal itu disampaikan oleh Dwi Soetjipto selaku Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) di Jakarta, Jumat (21/6). Dikatakannya per Mei kemarin, cost recovery telah dibayarkan mencapai USD4,05 miliar. Dia berharap kalaupun membengkak tidak melebihi dari 10 persen dari ketetapan anggaran APBN.
“Kalau sampai ada over run, kalau di atas 10 persen, maka perlu izin. Gap itu jangan over dari 10 persen. Jadi itu masih still good,” kata Dwi.
Jika dilihat dari perbandingan antara proyeksi dengan target APBN memang terjadi pembengkakan cost recovery. Namun jika dilihat dan dibandingkan dengan tahun lalu maka proyeksi nilai cost recovery sampai akhir tahun mengalami penurunan. Realisasi cost recovery pada tahun lalu mencapai USD812,1 miliar.
“Tahun ini dijaga supaya akhir tahun ini enggak sampai USD11,46 miliar. Ya kami jaga supaya gap-nya tidak lebih dari 10 persen dari apa yang ditargetkan APBN 2019. Tapi itu pun sudah dibawah 2018,” ujarnya.
Diakui Dwi bahwa, asumsi pembengkakan anggaran ini tidak sejalan denhan hasil lifting minyak dan gas. Hingga akhir 2019 rata-rata lifting minyak dipatok sebesar 754 ribu barel per hari (bph), atau masih di bawah target APBN 2019 sebesar 775 ribu bph. Proyeksi tahun ini pun lebih kecil dari realisasi tahun lalu sebesar 778 ribu bph.
Sementara lifting gas rata-rata akhir tahun sebesar 1.072 ribu barel ekuivalen per hari (BOEPD) atau di bawah target sebesar 1.250 BOEPD. Itu pun masih lebih rendah dibandingkan 2018 sebesar 1.149 ribu BOEPD. Beberapa sumur migas yang menjadi andalan diakuinya lifting terjadi penurunan seperti blok Rokan dan blok Mahakam.
“Minyak turun tidak bisa dihindari. Tapi total kan naik equivalen, karena gas naik. Kita di Indonesia tidak ada cerita. In the end, cost equivalent yang harus diturunkan,” pungkas Dwi. (DIN)
No comments so far.
Be first to leave comment below.