Logo SitusEnergi
Kenaikan Harga LPG Non Subsidi, Diskresi Mendesak Yang Harus Dilakukan Kenaikan Harga LPG Non Subsidi, Diskresi Mendesak Yang Harus Dilakukan
Jakarta, Situsenergi.com Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori memiliki 6 catatan khusus terkait kebijakan Pertamina Patra Niaga yang melakukan penyesuaian harga LPG non subsidi, sejak 25... Kenaikan Harga LPG Non Subsidi, Diskresi Mendesak Yang Harus Dilakukan

Jakarta, Situsenergi.com

Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori memiliki 6 catatan khusus terkait kebijakan Pertamina Patra Niaga yang melakukan penyesuaian harga LPG non subsidi, sejak 25 Desember 2021 kemarin.

Pada intinya, perubahan harga tersebut adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari, karena sebagai BUMN, PT Pertamina (Persero) tidak hanya dituntut untuk menjalankan penugasan pemerintah saja, melainkan juga harus memberikan dividen atau keuntungan bagi negara guna membiayai kebutuhan negara dalam mensejahterakan masyarakat.

“Alasan kenaikan harga jual LPG tersebut tidak hanya didasarkan oleh terjadinya kenaikan harga keekonomian minyak dan gas dunia, namun juga telah lama juga Persero tidak menggunakan diskresi nya (kewenangan) melakukan perubahan harga terkait faktor permintaan dan penawaran sesuai hukum ekonomi,” ujar Defiyan kepada awak media di Jakarta, Selasa (28/12/2021).

Catatan pertama, Defiyan meminta masyarakat untuk memahami bahwa kebijakan yang diambil Pertamina itu merupakan salah satu upaya krusial bagi perusahaan dalam menanggapi (respon) atas perkembangan kenaikan harga minyak mentah dan gas bumi (migas).

“Hal ini akan berpengaruh pada kinerja BUMN, khususnya dalam pembentukan Harga Pokok Produk dan atau Penjualan (HPP) yang akan dijual ke masyarakat konsumen,” tuturnya.

BACA JUGA   Alamak! Tiket Early Bird PLN Electric Run 2025 Ludes Sekejap, Target 7.500 Pelari, Emisi Karbon Dipangkas Puluhan Ribu Kg

Catatan kedua, kata Defiyan, yaitu memberikan dukungan penuh atas langkah BUMN Pertamina, sebagai bagian dari tanggapan atas kenaikan harga gas dunia secara signifikan dan sebagai langkah dalam menyelamatkan kehadiran (eksistensi) BUMN menjalankan pelayanan publik secara efektif, efisien dan berkelanjutan.

Ketiga, patut diakui bahwa keputusan kenaikan harga itu agak terlambat, sebab sebagian besar produsen atau perusahaan minyak dan gas dunia telah melakukan penyesuaian atas harga gas Elpiji retail yang dijual kepada konsumen

“Karena ini untuk mensiasati fluktuasi harga minyak mentah dan gas dimaksud untuk tetap menjaga operasi dan keberlanjutan pelayanan kepada masyarakat konsumen, bangsa dan negara,” tuturnya.

Ia mencontohkan sebagaimana India yang telah menaikkan harga gas LPG mengacu pada perjanjian Contract Prime Aramco (CPA) perusahaan negara dari Saudi Arabia dan pemerintahan India terkait kenaikan harga propana dan butana yang berpengaruh pada melonjaknya anggaran subsidi sejak awal Tahun 2020 sehingga dihentikannya subsidi Elpiji oleh pemerintah India pada bulan Juli 2020.

“Keempat, kenaikan harga CPA dari Saudi Aramco saat itu memang sangat signifikan dalam mempengaruhi anggaran negaranya, yaitu dari USD565 menjadi USD800 per metrik ton dengan selisih harga USD235 per metrik ton atau naik sebesar 41,5 persen, dan butana dari harga USD590 menjadi USD795 per metrik ton dengan selisih kenaikan sejumlah USD205 per metrik ton atau sebesar 25,8 persen,” ungkapnya.

BACA JUGA   Langkah Kecil, Dampak Besar: PDSI Mulai dari Emisi Kendaraan

Kemudian catatan kelima, lanjut Defiyan, secara logis perubahan harga jual LPG non subsidi yang dilakukan oleh BUMN Pertamina untuk jenis 12 kg dan 5 kg yang berkisar antara Rp 1.600-Rp 2.600 per kg adalah masih dalam batas wajar, masih lebih rendah dibandingkan dengan harga di negara lain, dan tetap mengacu kepada Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

Terakhir atau keenam, terkait imbas dari perubahan kebijakan harga jual LPG non subsidi yang berpeluang adanya migrasi konsumsi konsumen ke LPG subsidi 3 kg yang tak ada penyesuaian harga.

“Pemerintah harus memastikan alokasi dan skema subsidi LPG 3 kg dipenuhi secara tepat sasaran, sebab konsumsinya secara nasional mencapai 92,5 persen,” tegasnya.

Oleh karena itulah, imbuh Defiyan, kenaikan harga LPG non subsidi ini harus dipandang sebagai upaya menyelamatkan kinerja BUMN Pertamina ditengah tekanan kenaikan harga minyak mentah dan gas bumi dunia, di satu sisi.

Sementara itu sisi lain, adalah ruang yang wajar bagi perusahaan menggunakan diskresi nya untuk menjaga proses bisnis (business process) dalam menanggapi berbagai perubahan harga dan isu non harga dalam sektor industri migas dunia yang sangat kompetitif. (SNU)

BACA JUGA   Pemerintah Siapkan Satu Harga LPG 3 Kg Mulai 2026, Biar Tak Ada Lagi Harga Selangit

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *