Home ENERGI Kebijakan Impor Migas Yang Aneh Dari Kementerian ESDM
ENERGIOPINI

Kebijakan Impor Migas Yang Aneh Dari Kementerian ESDM

Share
Solar Yang Diselewengkan, Kenapa Harga Pertalite Yang Naik?
Share

Oleh : Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Kebijakan yang aneh telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, yaitu dengan memberikan rekomendasi impor solar kepada badan usaha swasta, salah satunya adalah PT ExxonMobil Lubricants Indonesia untuk periode Januari-Desember 2019. Padahal sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESSM) telah menetapkan pembatasan pengajuan tambahan kuota impor solar yang diajukan oleh Badan Usaha swasta.

Berdasarkan data yang disampaikan oleh Pemerintah melalui Plt Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas), Kementerian ESDM Djoko Siswanto pada Hari Rabu tanggal 17 Juli 2019, bahwa pemberian rekomendasi kuota impor kepada ExxonMobil Lubricants Indonesia mengalami penyesuaian, yaitu untuk volume impor yang semula adalah 226.100 kiloliter (KL), menjadi 800.320 KL, atau bertambah 574.220 KL.

Kebijakan ini begitu janggal, karena sebelumnya, Dirjen Migas pun telah menyampaikan, bahwa sebagai upaya menjaga agar impor tidak membengkak, Kementerian ESDM mengimbau badan usaha penyalur Bahan Bakar Minyak (BBM) membeli solar kepada PT Pertamina (Persero).

Rekomendasi tersebut merupakan salah satu upaya dalam menghemat anggaran daripada harus membeli solar dari luar negeri atau impor yang akan membuat melebarnya defisit transaksi berjalan (Current Account Defisit).

Pertanyaannya adalah, mengapa ada pengecualian bagi badan usaha yang akan melakukan impor solar dengan cetane number 51? Sebab, untuk kadar solar tersebut, bahkan Pertamina juga masih kekurangan pasokan, lalu kenapa bukan Pertamina yang diberikan izin untuk mengimpor? Sementara Dirjen Migas juga mengetahui bahwa selama ini pasokan solar Pertamina jenis cetane number 48 tercatat berlebih, sehingga badan usaha lain dapat memanfaatkan pasokan dalam negeri. Semestinya badan usaha swastalah yang diperintahkan untuk bernegosiasi dengan pihak Pertamina sebagai pemegang mandat ekonomi konstitusi negara apabila ada spesifikasi solar yang tidak sesuai, bukan malah mengizinkan impor pada swasta. Langkah inilah yang seharusnya dilakukan oleh Dirjen Migas untuk menjalankan perintah konstitusi Pasal 33 UUD 1945 dalam melindungi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai upaya mengurangi beban impor yang membuat semakin lebarnya defisit migas.

Sebagaimana diketahui secara luas oleh publik, Presiden pada rapat koordinasi di istana Bogor sebelumnya, yaitu Hari Senin tanggal 8 Juli 2019 telah mewanti-wanti dan memerintahkan para Menteri terkait untuk mengurangi impor dalam mengatasi defisit migas? Apakah memberikan izin kuota impor migas tidak melanggar perintah Presiden tersebut, yangmana disaat ini Pertamina juga diminta untuk melakukan upaya diversifikasi energi, salah satunya adalah produk B-20?[•]

Share

Leave a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Articles

Kendaraan Bermotor Listrik: Antara Harapan dan Kenyataan

Oleh : Sofyano ZakariaPengamat Kebijakan Energi Program akselerasi kendaraan bermotor listrik (KBL)...

LPG, LNG, CNG dan Kompor Induksi, Solusi Emak Emak Swasembada Energi Di Dapur

Oleh : Salamuddin Daeng Ada banyak sebetulnya pilihan bahan bakar yang dapat...

Cerai Secara UU, Rujuk Secara Operasional: Kisah tentang Organisasi Pertamina

Oleh : Prof Dr Andy Noorsaman S ,DEA,IPUGuru Besar UI. Pertamina adalah...

JDS Sukses Lahirkan SDM Unggul Di Sektor Migas, Pertamina Beri Apresiasi

Jakarta, situsenergi.com Jakarta Drilling Society (JDS) sebagai organisasi non-profit ini terus memfasilitasi...