Oleh : Andi N Sommeng
Dosen – GBUI
Di dalam sejarah peradaban, perubahan besar jarang muncul secara tiba-tiba. Ia tumbuh dari sebuah benih gagasan yang sederhana—sebuah invensi—temuan atau ide baru yang sebelumnya tidak ada. Akan tetapi, invensi pada dirinya sendiri bukanlah jaminan perubahan sosial atau ekonomi. Sebuah invensi harus menemukan bentuk praktis, nilai guna, dan adopsi luas agar dapat disebut inovasi. Di sinilah ekonomi dan kreativitas bertemu: pada titik ketika sebuah gagasan tidak hanya ditemukan, tetapi juga dimanfaatkan.
Perbedaan ini penting. Invensi adalah potensi; inovasi adalah realitas. Invensi berada di laboratorium, inovasi berada di pasar dan dalam perilaku masyarakat. *Thomas Edison tidak hanya menemukan bola lampu—ia membangun sistem distribusi listrik agar bola lampu tersebut dapat menerangi dunia. Tanpa sistem itu, bola lampu hanya menjadi curiositas ilmiah yang menarik namun tidak transformatif.
Namun perjalanan inovasi tidak pernah berjalan dalam ruang yang steril dan harmonis. Ia membawa konsekuensi yang mendalam bagi tatanan lama. Di sinilah konsep yang dikenalkan Joseph Schumpeter menjadi kunci: creative destruction —proses dimana tatanan ekonomi, sosial, dan teknologi yang mapan diruntuhkan oleh kekuatan inovasi baru.
Mesin uap menghancurkan ekonomi tenaga kerja manual. Mobil menggantikan kereta kuda. Streaming menghancurkan bisnis rental DVD. Kecerdasan buatan kini menantang struktur birokrasi dan bahkan hierarki pengetahuan akademik. Inovasi bukan hanya menambahkan sesuatu ke dalam dunia; ia juga mencabut, merebut, dan menghancurkan.

Creative destruction memiliki dua wajah:
- Wajah Emansipatoris – yang meningkatkan efisiensi, kesejahteraan, akses, dan kualitas hidup.
- Wajah Disruptif – yang mengguncang rasa aman, menghapus profesi, dan mengubah sistem sosial.
Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, dilema creative destruction menjadi semakin kompleks. Kita sering mengagungkan inovasi, namun pada saat yang sama ketakutan terhadap perubahan justru menghambat penerapannya. Banyak inovasi berhenti pada tahap seminar, pameran, dan pilot project—karena struktur ekonomi lama tidak mau runtuh. Rent-seeking, status quo birokratis, dan pola pikir “yang penting aman” menyisakan ruang inovasi hanya sebagai jargon.
Pertanyaannya kemudian menjadi reflektif:
Apakah kita benar-benar siap untuk inovasi, jika kita tidak siap menyaksikan sesuatu yang lama runtuh?
Inovasi tidak pernah netral. Ia membawa distribusi ulang kekuasaan. Ia menggeser nilai tambah ekonomi. Ia menentukan siapa yang menjadi pemenang dan siapa yang tersingkir. Negara, sektor industri, universitas, dan masyarakat perlu memahami bahwa adopsi inovasi bukan hanya persoalan teknologi, melainkan keberanian politik dan kearifan sosial untuk mengelola transisi.
Pada akhirnya, inovasi yang sehat adalah inovasi yang menyadari akar sosialnya: ia tidak sekadar menghancurkan, tetapi juga membangun kembali. Creative destruction yang visioner bukan hanya meruntuhkan bangunan lama, tetapi menyiapkan fondasi yang lebih kokoh untuk masa depan.
Mungkin itu sebabnya, dalam setiap fase sejarah, inovasi besar datang bukan dari mereka yang sekadar menemukan sesuatu, tetapi dari mereka yang berani memaknai kembali dunia.
|A||N||S|
Dosen-GBUI
Buitenzorg,
11Nopember2025
Verba volant, scripta manent
Leave a comment