

Inas Zubir: Demi Kedaulatan Energi, Negara Tak Boleh Kalah dengan Chevron
MIGAS May 4, 2021 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, Situsenergi.com
Negara harus berdaulat dalam sektor energi, tidak boleh kalah dan diintervensi oleh Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) terutama asing. Hal ini mengurus proses alih kelola Blok Migas Rokan antara Chevron Pacific Indonesia dengan Pertamina yang menyisakan sejumlah permasalahan.
Sebagaimana diketahui, perhitungan Pertamina mengenai investasi yang dibutuhkan setelah serah terima ladang Duri, Minas, dan Bekasap di Rokan dari Chevron, adalah sebesar USD70 miliar selama 20 tahun, dengan harapan dapat memproduksi minyak mentah untuk mengatasi impor, dimana kelak akan mengelola devisa sekitar USD4 miliar per tahun.
Pertamina berharap dengan investasi tersebut dapat memulihkan produksi crudo oil yang lebih baik melalui enhanced oil recovery (EOR) hingga mencapai tingkat pemulihan 60 persen untuk memperpanjang umur blok. Jika hal tersebut tercapai maka bisa dianggap ekonomis, sebaliknya malahan akan merugikan Pertamina.
Namun demikian ternyata hal itu tidak mudah. Sebab menurut Dirjen Migas Kementrian ESDM, upaya peningkatan produksi Blok Rokan pasca alih kelola dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke PT Pertamina Hulu Rokan akan menemui kendala tentang formula Enhance Oil Recovery (EOR) dengan menggunakan cairan kimia surfaktan yang dikuasai oleh Chevron, kecuali Pertamina membeli cairan kimia surfaktan include software-nya tersebut dari Chevron Oronite, anak perusahaan Chevron.
‘Sangat mengherankan jika Dirjen Migas bersikap pesimistis dan buru-buru mengatakan bahwa Pertamina harus membeli teknologi dan cairan kimia surfaktan dari Chevron, padahal seharusnya Menteri ESDM menginstruksikan SKK Migas untuk mempelajari dan mencermati dukumen-dokumen seperti PSC include POD, WP&B dan AFE Chevron mengenai EOR, karena pada dasarnya PSC tersebut adalah kontrak untuk mengatur hak dan kewajiban bagi pemerintah Indonesia dan investor yang bertindak sebagai kontraktor,” ujar Praktisi dan Pemerhati Migas, Inas N Zubir, dalam keterangannya, Selasa (4/5/2021).
Inas mempertanyakan mengapa SKK Migas perlu mencermati kembali PSC Chevron? Karena menurut Presiden Direktur Chevron Pacific Indonesia Albert Simandjuntak, teknologi EOR Surfaktan ini merupakan teknologi dengan biaya tinggi, yakni sebesar USD222 juta, dimana USD179 juta di antaranya masuk dalam cost recovery.
“Nah, SKK Migas harus meneliti pernyataan Presdir Chevron ini, karena bisa saja riset untuk menemukan teknologi EOR surfaktan tersebut sudah tercover cost recovery,” tegasnya.
Permasalahan selanjutnga adalah soal energi listrik untuk Blok Rokan yang berasal oleh NDC (North Duri Cogeneration) Plant, yakni stasiun pembangkit yang menyuplai listrik ke CPI Rokan, sebanyak lebih dari 70 persen serta uap sebanyak 20 persen. Dan NDC Plant yang dioperasikan oleh PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN), anak perusahaan CPI, ternyata dilelang oleh Chevron.
Artinya NDC Plant tersebut tidak satu paket dengan Blok Rokan yang akan dialih kelolakan kepada Pertamina, sehingga dipastikan bahwa Pertamina tidak akan dapat mengoperasikan blok Rokan tersebut tanpa adanya energi listrik dan uap.
Padahal rezim PSC yang digunakan Chevron di Blok Rokan adalah cost recovery, dimana Negara melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), telah mengganti semua biaya investasi dan operasional dalam pengelolaan Blok Rokan.
Pada tahun 2008 BPK, kata Inas, pernah menemukan kerugian negara lebih dari USD1 miliar akibat kontrak antara CPI dengan MCTN, tapi anehnya tidak ada tindak lanjut untuk menuntaskan kerugian negara tersebut.
“Oleh karena itu patut kita duga bahwa pembangunan NDC sendiri sudah masuk dalam costrec dan seharusnya NDC tersebut merupakan aset Negara. Salah satu temuan yang sangat penting adalah biaya operasional MCTN dibebankan ke cost recovery termasuk membeli gas untuk NDC Plant dari Conoco Phillips, tapi pada tahun 2017 Chevron menghentikan pembebanan cost tersebut untuk kemudian dirubah menjadi biaya pembelian energy listrik dalam cost recovery,” tegasnya.
Dalam prosesnya, akibat SKK Migas yang lebih fokus menjadi broker minyak dan gas bagian Negara, maka kinerja sebagai pelaksana kebijakan Menteri ESDM menjadi lemah, padahal seharusnya SKK Migas melakukan evaluasi yang benar-benar mencakup juga penelitian seluruh dokumen PSC, POD, WP&B dan AFE Chevron, sehingga kelonggaran yang muncul disaat akan berlangsung-nya alih alih kelola Blok Rokan dapat diprediksi dan dikendalikan.
“Yang harus dilaksanakan oleh SKK Migas adalah investor di sektor migas memang harus diberi kesempatan dalam mengembangkan, tapi jugab jangan memudahkan mereka untuk merampas hak negara, karena itu berarti negara dikalahkan oleh Chevron,” pungkasnya. (SNU / RIF)
No comments so far.
Be first to leave comment below.