Home Uncategorized Harga BBM Malaysia Lebih Murah dari Indonesia? Eits, Jangan Buru-buru Ambil Kesimpulan, Cek Dulu Faktanya!
Uncategorized

Harga BBM Malaysia Lebih Murah dari Indonesia? Eits, Jangan Buru-buru Ambil Kesimpulan, Cek Dulu Faktanya!

Share
Harga BBM Malaysia Lebih Murah dari Indonesia? Eits, Jangan Buru-buru Ambil Kesimpulan, Cek Dulu Faktanya
Share

Jakarta, situsenergi.com

Kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) di Malaysia dan Indonesia menampilkan kontras yang menarik. Meski demikian, anggapan bahwa harga BBM di malaysia lebih murah ketimbang di Indonesia, ternyata tak juga demikian.

Sebagaimana diketahui, pemerintah Malaysia menetapkan harga eceran RON 95 non-subsidi pada RM2,60 per liter, setara sekitar Rp10.296 per liter, berlaku sepanjang Oktober 2025.

Sementara itu, melalui program Budi Madani RON 95 (Budi95), warga Malaysia dengan SIM valid dapat membeli BBM seharga RM1,99 per liter (sekitar Rp7.880), dengan subsidi RM0,61 per liter dan dengan batasan kuota maksimal 300 liter per bulan. Program ini memberikan manfaat hingga RM183 atau sekitar Rp727.048 per individu per bulan.

Bagi kendaraan umum dan angkutan barang darat yang memenuhi syarat, harga RON 95 ditetapkan RM2,05 per liter (sekitar Rp8.120) melalui Sistem Kawalan Petrol Subsidi (SKPS). Pemerintah juga bekerja sama dengan operator e-hailing untuk memastikan pengemudi eligible menerima subsidi tambahan, dengan mekanisme pendaftaran yang difinalisasi bersama APAD pekan ini.

Meski demikian, Prof. Dr. Ir. Andy Noorsaman Sommeng, DEA, IPU Guru Besar Tetap Fakultas Teknik (FT) Universitas Indonesia, menekankan bahwa meski terlihat murah, harga BBM di Malaysia sebenarnya tidak jauh berbeda dari harga dasar BBM di Indonesia. “Jika dihitung dari harga dasar Pertamina dan Petronas, hampir sama. Bedanya hanya di PPN dan PBBKB di Indonesia yang menambah sekitar 21 persen pada harga akhir. Selisih ini kerap dijadikan isu politik oleh pihak tertentu,” ujar Andi.

Menurut Andi, harga BBM di Malaysia terasa sederhana bagi publik karena pemerintah menutup selisih harga internasional dengan subsidi langsung. Tidak ada jargon “subsidi tepat sasaran” atau mekanisme kompensasi yang berlapis. Bagi rakyat, BBM terasa murah dan mudah dijangkau.

Sebaliknya, Indonesia memperlakukan harga Pertalite dan Pertamax dengan banyak lapisan: PBBKB untuk pemerintah daerah, PPN untuk pusat, margin distribusi, biaya logistik, serta kendala industri. Kilang yang stagnan sejak 1990-an membuat impor BBM menjadi tak terhindarkan.

“Harga di SPBU adalah akumulasi dari keterbatasan industri, pungutan fiskal, dan pilihan politik. Setiap kenaikan harga BBM memicu protes di jalanan, sementara di ruang rapat, pejabat menyalakan kalkulator menghitung selisih harga keekonomian dan subsidi. Jalan raya berbicara dengan api, ruang rapat berbicara dengan angka,” jelas Andi.

Malaysia meminimalisasi benturan sosial dengan menekan harga BBM, sambil menjaga efisiensi industri. Petronas, perusahaan minyak nasional mereka, berfungsi sebagai mesin negara yang terintegrasi dari hulu hingga hilir, memberi surplus besar yang memungkinkan harga ditahan rendah. Indonesia, di sisi lain, membiarkan benturan antara realitas sosial dan logika fiskal terjadi, sehingga harga BBM tidak hanya menjadi persoalan ekonomi, tetapi juga politik jalanan.

Ironi muncul dari sejarah energi kedua negara. Indonesia pernah menjadi eksportir minyak, kini menjadi importir besar. Malaysia memiliki cadangan tidak jauh berbeda, tetapi mereka membangun kilang RAPID Johor dan menjaga efisiensi operasional. Sementara Indonesia memiliki daftar panjang proyek kilang yang belum rampung, seperti Tuban, Bontang, dan Cilacap. Hasilnya terlihat di pompa: bensin lebih murah di Kuala Lumpur, lebih mahal di Jakarta.

Harga BBM, dengan demikian, bukan sekadar angka rupiah per liter. Ia menjadi cermin dari bagaimana negara hadir bagi rakyat. Di Malaysia, negara menunduk memberi; di Indonesia, negara berdiri meminta sabar. Pertanyaan yang muncul, menurut Andi, adalah apakah energi merupakan hak dasar rakyat atau sekadar komoditas pasar, dan apakah negara hadir sebagai pelindung kehidupan sehari-hari atau sekadar penagih pengertian.

Kebijakan Budi95 di Malaysia menunjukkan bahwa subsidi langsung yang tepat dan efisiensi industri dapat menekan harga BBM tanpa membahayakan fiskal negara. Indonesia dapat belajar dari model ini agar harga BBM lebih transparan, terjangkau, dan meminimalkan konflik sosial akibat kenaikan harga. (GIT)

Share

Leave a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Articles

Official Safety Car MotoGP di Mandalika Gunakan Pertamax Turbo untuk Bahan Bakar

Mandalika, situsenergi.com Pertamina Grand Prix of Indonesia tengah digelar di Mandalika, Lombok....

23 Tahun Membangun Fondasi Ketenagalistrikan Indonesia, PLN Enjiniring Mantap Menuju World Class Engineering Champion 2030

Jakarta, situsenergi.com Memasuki usia ke-23 dengan mengusung tema “Empowering Future Engineering”, PLN...

Pertamina Patra Niaga Pastikan Pasokan BBM Aman hingga Pelosok Nusantara

Jakarta, situsenergi.com Pertamina Patra Niaga menegaskan komitmennya menjaga ketersediaan bahan bakar minyak...

Desa Energi Berdikari Uma Palak: Bertani di Tengah Kota Memanfaatkan Tenaga Surya

Denpasar, situsenergi.com PT Pertamina (Persero) melalui Subholding Pertamina Patra Niaga mendorong inovasi...