Logo SitusEnergi
Hanya 17 % dari Total Konsumsi Nasional, Wajar Kalau Harga Pertamax Disesuaikan Hanya 17 % dari Total Konsumsi Nasional, Wajar Kalau Harga Pertamax Disesuaikan
Jakarta, Situsenergi.com Volume konsumsi produk bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi, termasuk Pertamax sangat kecil atau hanya sekitar 17 persen dari total konsumsi BBM Nasional.... Hanya 17 % dari Total Konsumsi Nasional, Wajar Kalau Harga Pertamax Disesuaikan

Jakarta, Situsenergi.com

Volume konsumsi produk bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi, termasuk Pertamax sangat kecil atau hanya sekitar 17 persen dari total konsumsi BBM Nasional. Oleh sebab itu, masyarakat tidak perlu resah jika harganya disesuaikan dengan harga pasar global mengikuti harga minyak dunia yang saat ini sudah melonjak tinggi, akibat perang Rusia-Ukraina.

Menurut Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto, volume konsumsi terbesar justru BBM yang disubsidi negara yaitu Pertalite dan Biosolar yang mencapai 83 persen. Oleh karena itu, pihaknya meminta agar masyarakat tak perlu resah karena selain volumenya sangat kecil, BBM nonsubsidi ini pun sebagian besar dikonsumsi segmen masyarakat tertentu, dan tidak digunakan oleh transportasi umum maupun usaha kecil.

“BBM nonsubsidi, seperti Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite, memang sangat kecil konsumsinya. Hanya 17 persen. Selain itu BBM nonsubsidi juga diperuntukkan bagi kalangan mampu dan sektor industri,” kata Sugeng dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Dengan demikian, kata dia, jika nanti Pertamina melakukan penyesuaian harga BBM nonsubsidi hal itu tidak akan mengganggu aktivitas masyarakat secara umum.

BACA JUGA   Pertamina Lakukan Uji Kualitas di 6.198 SPBU, Pastikan BBM Sesuai Standar

Lebih jauh ia mengatakan, dari keempat jenis BBM nonsubsidi baru tiga jenis yang disesuaikan yaitu Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite, yang total volume penjualannya hanya tiga persen dari keseluruhan BBM Pertamina. Sedangkan Pertamax, yang volumenya sekitar 14 persen, selama 2 tahun terakhir harganya masih tetap walaupun harga minyak dunia meningkat.

“Karena Pertamax bukan produk subsidi, dan kesenjangan harga yang timbul menjadi beban Pertamina. Apalagi di tengah harga minyak dunia yang juga sangat tinggi, maka sewajarnya saja jika Pertamina menyesuaikan harga Pertamax dengan harga pasar. Karena jika tidak maka beban Pertamina akan semakin berat,” paparnya.

Menurut Sugeng, mekanisme penyesuaian harga BBM nonsubsidi tersebut, sudah sejalan dengan aturan Pemerintah. Kendati demikian, Komisi VII DPR akan terus melakukan pengawasan agar ekosistem energi berjalan dengan baik.

“Kami dari Komisi VII secara terus rutin mengawasi produksi dan distribusi BBM, dan memastikan ketersediaannya cukup untuk masyarakat,” tutup Sugeng.

Hal senada juga disampaikan Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) David E Sumual. Menurut dia, penyesuaian harga BBM jenis Pertamax sebagaimana yang sudah dilakukan perusahaan lain terhadap produk sekelas dinilai sangat wajar.

“Kalau harga Pertamax Disesuaikan menurut saya wajar saja, agar beban Pertamina tidak terus bertambah. Apalagi Pertamax termasuk BBM nonsubsidi sehingga dapat mengikuti harga pasar,” katanya.

Ia mengatakan untuk menyesuaikan harga Pertamax, bisa dengan membandingkan dengan pesaing Pertamina. Misalnya produk BBM RON 92, pesaing Pertamina sudah mirip dengan harga pasar.

“Pertamax dan Pertalite kan tidak dalam posisi harga minyak (mentah) sekarang,” ucapnya.

Masih menurut David, perbedaan harga Pertamax dan Pertalite dengan harga pasar saat ini sekitar USD 20-40 per barel, bergantung pada pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS, yakni saat ini antara Rp 14.200-Rp 14.400 per dolar AS.

BACA JUGA   Resmi! Dendy Kurniawan Kembali Pimpin Pelita Air untuk Periode Kedua

“Ini bergantung pada kursnya di berapa, harga minyak global kira-kira berapa? Sedangkan badan usaha lain sudah mengikuti dua variabel utama ini,” cetusnya.

Menurutnya, volume penjualan Pertalite saat ini sudah paling tinggi. Dengan mobilitas masyarakat yang semakin baik, konsumsi Pertalite juga akan terus meningkat dan membuat beban yang harus ditanggung Pertamina juga akan semakin besar. Apalagi tanpa ada kenaikan harga Pertamax yang tidak disubsidi karena dikonsumsi masyarakat mampu.

Ia mengasumsikan baseline skenario harga minyak sekitar USD 130-an per barel paling tinggi dan bertahan di level tersebut hingga akhir tahun. Sementara kurs rupiah terhadap dolar AS sekitar Rp 14.600-an. sehingga beban tambahan yang ditanggung Pertamina bisa mencapai Rp 200-an triliun paling sedikit dalam setahun.

“Kondisi ini akan bergerak terus seiring pergerakan kurs dan harga minyak global.
Pertamina memang butuh suntikan likuiditas dan mereka sudah kelihatan beberapa kesempatan menyampaikannya,” tutup David.(Ert)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *