Logo SitusEnergi
Hahaha, Negara Penyeru EBT Kembali Ke Batubara, Reforminer: Tidak Konsisten! Hahaha, Negara Penyeru EBT Kembali Ke Batubara, Reforminer: Tidak Konsisten!
Jakarta, Situsenergi.com Negara-negara di Eropa, termasuk China di Asia, akhirnya kembali berburu batubara sebagai sumber energi mereka, karena diakui bahwa batubara adalah energi yang... Hahaha, Negara Penyeru EBT Kembali Ke Batubara, Reforminer: Tidak Konsisten!

Jakarta, Situsenergi.com

Negara-negara di Eropa, termasuk China di Asia, akhirnya kembali berburu batubara sebagai sumber energi mereka, karena diakui bahwa batubara adalah energi yang paling murah saat ini, seiring dengan peningkatan kebutuhan pasokan energi disana untuk menghadapi musim dingin. 

Sebagaimana diketahui, harga minyak dan gas bumi melambung sangat tinggi karena banyaknya permintaan, khususnya disaat pasokan dunia masih terpengaruh adanya pengetatan akibat pandemi. 

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, fenomena negara-negara maju yang kembali ke batubara ini bisa jadi contoh buruk ditengah seluruh negara yang saat ini sedang bersemangat melakukan transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan (EBT). 

“Pada akhirnya semua negara mencari yang termurah bukan yang terbersih. Seperti saya sampaikan ketika ekonomi pulih, negara-negara akan memilih energi yang paling murah. Apalagi dalam hal ini Inggris dan AS yang mengklaim terdepan dalam transisi energi, terbukti kembali ke batubara. Saya kira hal tersebut akan menjadi preseden kurang baik untuk transisi energi global,” ujar Komaidi kepada Situsenergi.com, Kamis (14/10/2021). 

Komaidi meyakini, akan lebih banyak lagi negara-negara di dunia yang “Kembali” ke batubara. Transisi EBT pun diyakini akan lebih lambat dari perkiraan karena hal ini. 

BACA JUGA   Artisanal Migas, Antara Kearifan Lokal dan Legalitas Negara

“Jika negara-negara yang mengklaim sebagai yang terdepan saja tidak konsisten, maka peluang negara lain tidak konsisten juga sangat besar,” tuturnya. 

Indonesia, kata Komaidi, bisa mengambil keuntungan dari kondisi ini, karena Indonesia adalah penghasil batubara yang sangat besar di dunia.

“Untuk saat ini (fenomena kembali ke batubara) relatif menguntungkan (bagi Indonesia). Karena produksi (batubara) kita jauh diatas kebutuhan domestik,” tuturnya. 

Sebagaimana diketahui, lonjakan harga gas alam telah menyebabkan lonjakan penggunaan batubara, dengan pabrik-pabrik di Eropa dan Asia bangkit kembali karena penurunan suhu dan dunia bergulat dengan kekurangan gas yang memburuk.

CEO TotalEnergies Patrick Pouyanne, dikutip dari CNBC pada hari Rabu menekankan perlunya mencapai stabilitas harga dan menurut dia harga gas yang lebih rendah akan mengurangi kebutuhan untuk bergantung pada batubara berpolusi tinggi, tetapi transisi ke energi yang lebih bersih juga telah menciptakan ketidakseimbangan di pasar.
“Harga tinggi bukanlah kabar baik – tentu saja segera untuk perusahaan saya, hasil lebih baik, tetapi untuk pelanggan tidak,” Pouyanne mengatakan kepada Hadley Gamble dari CNBC selama panel Russia Energy Week di Moskow.

BACA JUGA   Bye Batubara! RUPTL Baru Fokus ke Energi Hijau, Surya Paling Diandalkan

Mengganti batu bara dengan gas “baik untuk perubahan iklim, tetapi untuk melakukan itu, kita perlu memiliki harga yang lebih rendah,” kata CEO. “Karena batu bara saat ini adalah rajanya, karena batubara lebih murah daripada semua sumber energi lainnya.”

Listrik yang dihasilkan batubara telah melonjak di Eropa, dan batubara berjangka Eropa telah meningkat lebih dari dua kali lipat sejak awal tahun. Dan ironisnya jelas, karena ini terjadi saat Eropa mencoba mengurangi penggunaan bahan bakar yang berpolusi. Harga gas di Eropa, sementara itu, hampir empat kali lipat sejak awal tahun.

“Jadi bagi kami hari ini harga terlalu tinggi. Kami harus menemukan stabilitas, kembali ke sesuatu yang lebih normal,” kata Pouyanne.

Dia menambahkan bahwa masalah ini bukan hanya krisis gas Eropa, tetapi krisis global, yang berasal dari “kenaikan besar permintaan gas dari China dan Asia,” serta “lebih banyak permintaan gas karena transisi energi, dari batu bara menjadi gas, yang baik untuk perubahan iklim.”

“Jadi itu menurut saya pelajaran,” kata Pouyanne. “Selain itu, semakin banyak kita memasukkan energi terbarukan ke dalam sistem kelistrikan kita, kita memasukkan sumber-sumber intermiten yang bergantung pada cuaca.”. (SNU)

BACA JUGA   Ketahanan, Swasembada, dan Kemandirian Energi?

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *