Dunia dalam Genggaman, Realita dalam Kebingungan
Oleh : Andi N Sommeng
Generasi Z lahir di tengah koneksi nirkabel dan paradoks global . Mereka tumbuh dalam dunia yang katanya “ tanpa batas ”, namun justru dibatasi oleh algoritma. Mereka bicara tentang freedom of choice , tapi pilihan mereka disetir oleh influencer marketing dan recommendation system
Di Indonesia, mereka bisa berdebat tentang pajak karbon sambil scrolling TikTok skincare; di Nepal, mereka berbicara soal revolusi digital, tapi masih menunggu sinyal 4G yang stabil; di Paris, mereka turun ke jalan protes harga bahan bakar, tapi membeli kopi seharga €6 di Saint-Germain ; dan di Madagaskar, mereka bermimpi tentang dunia hijau sambil bekerja di tambang nikel yang memberi bahan baku untuk mobil listrik global.
Politik: Dari Idealisme ke Ironi
Gen Z secara politik tampak progresif: menuntut kesetaraan gender, keadilan iklim, dan kebebasan berekspresi . Namun, banyak di antara mereka juga merasa alergi terhadap “politik formal”.
Di Indonesia, survei LSI 2024 menunjukkan mayoritas Gen Z memilih “ netral ” dalam urusan partai, tapi sangat aktif di political content TikTok . Di Nepal , mereka terinspirasi oleh semangat revolusi, namun bosan oleh birokrasi tua. Di Paris , generasi muda melawan undang-undang pensiun Macron dengan penuh gairah, namun esok harinya sibuk upload OOTD ( Outfit Of The day ) di Bastille.
Politik bagi Gen Z bukan lagi ideologi, melainkan identitas digital. Mereka tidak membaca Marx atau Adam Smith , tetapi menonton YouTube short tentang “mengapa kapitalisme tidak cocok untuk Gen Z” dengan latar lo-fi beat( low Fidelity ) .
Ekonomi: Kapitalisme Estetika dan Gig-Paradox
Secara ekonomi, Gen Z adalah anak kandung kapitalisme yang memberontak terhadap orang tuanya.
Mereka menolak sistem yang eksploitatif, tapi hidup dari gig economy yang menciptakan fleksibilitas sekaligus ketidakpastian . Mereka bekerja sebagai freelancer global , tapi tidak punya jaminan pensiun. Mereka ingin work-life balance , tapi tak sadar bahwa life mereka sendiri telah dikapitalisasi oleh work yang berbentuk content creation.
Di Indonesia, Gen Z membuat UMKM digital, berjualan merchandise moral bertuliskan “anti kapitalisme” — yang ironisnya laris di marketplace milik korporasi global. Di Paris, mereka mendukung sustainable fashion tapi tetap antre membeli fast fashion baru setiap bulan. Di Madagaskar, generasi muda menuntut pemerataan ekonomi sambil tergoda oleh janji kerja dari perusahaan tambang asing.
Paradoksnya : mereka ingin sistem baru, tapi takut kehilangan kenyamanan yang disediakan sistem lama.
Moral dan Etika: Dari Kebajikan ke Branding Pribadi
Moralitas Gen Z bukan hilang, tapi berevolusi . Nilai “kebaikan” kini diukur dari engagement rate.
Berderma bukan lagi soal empati, tapi estetika — misalnya donation challenge, reels amal, atau “green activism” dengan filter pastel . Di satu sisi, mereka membawa moralitas baru berbasis kesadaran sosial; di sisi lain, moral itu sering dikomodifikasi menjadi citra digital .
Etika bagi Gen Z lebih cair . Mereka menolak diskriminasi dan intoleransi, tapi mudah cancel orang lain tanpa proses refleksi . Di dunia Gen Z, keadilan sosial seringkali berakhir pada trending hashtag , bukan perubahan struktural .
Spirit Global: Solidaritas Virtual, Realita Terfragmentasi
Gen Z menganggap dunia satu komunitas besar — dari Kathmandu hingga Jakarta , dari Antananarivo hingga Paris . Tapi solidaritas global mereka sering sebatas “emoji tangan berdoa”.
Mereka menyuarakan ” Save Palestine”, “Black Lives Matter”, atau “Save The Earth “, namun menggunakan smartphone hasil rantai pasok yang sama dengan yang mereka kecam .
Paradoks moral ini bukan hipokrisi semata, tapi cermin dunia yang kompleks : di mana setiap tindakan baik hampir selalu punya jejak karbon , dan setiap idealisme butuh koneksi Wi-Fi.
Antara Harapan dan Ironi
Namun, tak adil menyebut Gen Z sebagai generasi nihilistik. Mereka justru sadar akan absurditas zaman. Seperti kata Albert Camus, “Manusia harus membayangkan Sisyphus bahagia.” Gen Z sadar dunia absurd, tapi mereka terus mendorong batu itu ke atas bukit digital — membuat content, start-up, movement, bahkan meme, untuk menjaga kewarasan kolektif.
Di tengah paradoks, mereka sedang membentuk paradigma baru: politik mikro, ekonomi kolaboratif, dan etika berbasis kesadaran global — meskipun sering tersandung oleh layar kaca yang mereka cintai.

Dunia Dalam Versi Beta
Gen Z adalah generasi beta dari dunia masa depan — belum sempurna, tapi terus update.
Mereka mungkin tidak membaca teori ekonomi klasik, tapi memahami “harga” dengan cara baru: harga moral, harga sosial, dan harga identitas.
Di antara ironi dan idealisme, mereka sedang menulis ulang bab baru sejarah manusia — dengan caption pendek, emotikon jujur, dan kamera depan yang merekam paradoks dunia.
|A||N||S|
Buitenzorg,
17Oktober2025
Verba volant, scripta manent
Leave a comment