Logo SitusEnergi
Fakta PLN “Aman”, Meski Punya Utang Rp649 T Fakta PLN “Aman”, Meski Punya Utang Rp649 T
Jakarta, Situsenergi.com Reforminer Institute melakukan kajian terkait laporan keuangan PT PLN (Persero), untuk melihat seberapa kuat perusahaan BUMN itu tetap eksis dengan kondisi kinerja... Fakta PLN “Aman”, Meski Punya Utang Rp649 T

Jakarta, Situsenergi.com


Reforminer Institute melakukan kajian terkait laporan keuangan PT PLN (Persero), untuk melihat seberapa kuat perusahaan BUMN itu tetap eksis dengan kondisi kinerja keuangan yang disebut memprihatinkan. 


Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro memaparkan, ada sejumlah fakta yang ditemukan dari hasil kajian, dimana hal itu yang menurutnya membuat PLN “Aman”, meski jika dilihat secara kasat mata, perusahaan setrum itu menanggung beban yang sangat berat.

Berikut adalah tujuh catatan Reforminer Institute yang Situsenergi.com berhasil rangkum:

1. Jika mengacu pada Harga Batubara Acuan (HBA) dan nilai tukar rupiah saat ini, pada tahun 2021 PLN memerlukan biaya tambahan untuk pengadaan batubara sekitar Rp 78,95 triliun jika harga Domestic Market Obligation (DMO) atau harga khusus batubara untuk listrik ditiadakan.


2. Meningkatnya harga batubara tampak tidak berdampak terhadap PLN, karena terdapat harga khusus yang diatur melalui Kepmen ESDM No.261K/30/MEM/2019 dan Kepmen ESDM No.255.K/30/MEM/2020. Jika harga HBA di atas 70 USD/ton, harga jual ke PLN ditetapkan sebesar 70 USD/ton. Jika HBA di bawah 70 USD/ton, harga jual ke PLN ditetapkan sesuai HBA.


3. Kebijakan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan subsidi listrik yang cenderung kurang konsisten, berdampak terhadap kinerja keuangan PLN menjadi kurang optimal. Laba bersih yang berhasil dibukukan PLN relatif lebih rendah dari potensinya.

BACA JUGA   Setelah 15 Tahun Gelap, Kampung Menra Kini Nikmati Listrik 24 Jam Nonstop!


4. Data menunjukkan, selama tahun 2010-2020 laba yang dibukukan PLN sekitar Rp 3 triliun–Rp 11,57 triliun. Tertinggi dibukukan pada tahun 2014 sebesar Rp 11,06 trilun dan tahun 2018 sebesar Rp 11,57 triliun. Pada tahun 2020 PLN membukukan laba sebesar Rp 5,99 triliun.


5. Utang PLN yang pada 2020 dilaporkan mencapai Rp 649 triliun perlu menjadi perhatian. Satu hal yang masih positif, pertumbuhan utang PLN disertai pertumbuhan aset. Selama 2010-2020, rata-rata pertumbuhan utang PLN sekitar 10,31% per tahun. Sementara, pada periode yang sama aset PLN ratarata tumbuh 17,93% per tahun.

6. Data menunjukkan, kemampuan PLN dalam menghasilkan laba dari aset yang dipergunakan relatif rendah. Selama periode 2010-2020 Return On Total Assets (ROA) PLN cenderung menurun. Selama periode tersebut, rata-rata ROA PLN sebesar 0,40% jauh di bawah ROA Singapore Power yang tercatat sekitar 6%.


7. Standar industri menetapkan batasan ROA yang dapat dikategorikan sehat/baik adalah 5,98%. Jika ROA suatu badan usaha di atas 5,98% maka dikategorikan baik dan sebaliknya jika ROA di bawah 5,98% maka dikategorikan tidak baik. Sementara berdasarkan data yang ada, ROA PLN selama periode 2010-2020 berada jauh di bawah batasan tersebut.

“Jika mengacu pada nilai ROA standar industri dan aset PLN tahun 2020 yang mencapai Rp 1.589 triliun, kinerja keuangan PLN dapat dikategorikan baik/sehat jika PLN dapat membukan laba bersih di atas Rp 95 triliun,” ujar Komaidi, Minggu (11/7/2021).

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro (dok: ist)

Sementara, kata Komaidi, data menunjukkan kemampuan PLN dalam menghasilkan laba dari aset yang dipergunakan mengalami penurunan. Tercatat pada tahun 2010, dengan aset Rp 406 triliun PLN dapat membukukan laba sebesar Rp 10,09 triliun. Sementara pada tahun 2020, dengan aset sebesar Rp 1.589 triliun, PLN hanya dapat membukukan laba sebesar Rp 5,99 triliun.

“Jadi berdasarkan catatan poin 1 tersebut, hampir dapat dipastikan PLN tidak dapat membukukan laba jika harga DMO batubara untuk PLN ditiadakan. Jika tidak terdapat harga DMO, akan terdapat tambahan biaya pembelian batubara sebesar Rp 78,95 triliun. Sementara laba tertinggi yang tercatat dapat dibukukan PLN selama 2010-2020 hanya sebesar Rp 11,57 triliun jauh di bawah potensi tambahan biaya yang sebesar Rp 78,95 triliun tersebut,” ungkapnya. 


Kemudian jika PLN setiap tahunnya diasumsikan dapat membukukan laba sebesar Rp 10 triliun dan seluruhnya digunakan untuk membayar utang, maka PLN memerlukan waktu sekitar 64 tahun untuk melunasi seluruh hutangnya. Penyelesaian hutang PLN tersebut dapat dipercepat dengan mengurangi belanja modal dan/atau menjual sebagian aset yang dimiliki.

“Mencermati permasalahan yang ada tersebut, ReforMiner menilai pemerintah perlu lebih proporsional dalam memperlakukan PLN. Pemerintah perlu lebih tertib memisahkan mana administrasi negara dan mana administrasi usaha (BUMN),” tegas Komaidi.


Kemudian, kebijakan subsidi untuk PLN tidak dapat hanya berdasarkan ruang fiskal yang ada, namun juga perlu konsisten dengan ketentuan UU Keuangan Negara bahwa kerugian usaha yang timbul akibat selisih harga wajar dan harga penugasan, harus diganti penuh oleh negara. 

“Jika tidak terdapat perubahan kebijakan, maka kekhawatiran Menteri BUMN bahwa nasib keuangan PLN akan menyerupai keuangan Garuda Indonesia sangat berpeluang terjadi,” pungkasnya. (SNU)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *