

Ekonom Konstitusi: Penetapan Subsidi BBM Harus Tepat Sasaran
ENERGI August 18, 2019 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, Situsenergy.com
Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori mengatakan, bahwa jika alokasi subsidi BBM dapat direncanakan dengan baik dan tepat sasaran, maka data dan pemetaan kelompok masyarakat sasaran (targetted) sebagai konsumennya harus sudah tersedia, sehingga penyalurannya dapat memperkecil penyimpangan dari kelompok sasaran.
Menurut dia, dalam setiap mengalokasikan anggaran untuk suatu program dan kegiatan, prinsipnya harus tepat sasaran dan tujuannya serta siapa kelompok sasaranmya. “Untuk itu, sumber data menjadi penting untuk memahami latar belakang besaran alokasi anggaran untuk program dan kegiatan tertentu. Dengan data yang terkini (up date), valid dan kredibel (reliable dan valuable), maka akan diperolah jumlah alokasi anggaran optimal,” kata Defiyan kepada Situsenergy.com di Jakarta, Minggu (18/8).
Prinsip ini, kata dia, semestinya juga berlaku bagi kebijakan subsidi BBM yang dialokasikan untuk kelompok masyarakat tertentu. Oleh karena itu, soal data dan sumber data menjadi faktor yang sangat penting dan relevan sebelum menetapkan keputusan besaran alokasi anggaran subsidinya. “Termasuk dalam hal ini adalah besaran alokasi subsidi BBM jenis solar yang ditetapkan oleh pemerintah dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2020 senesar Rp 1.000 per liter,” katanya.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan adanya penyesuaian BBM jenis solar pada Tahun 2020. Pemerintah bermaksud memangkas subsidi BBM solar menjadi maksimal Rp 1.000 per liter. Harga BBM jenis solar memang sejak bulan April 2016 hingga saat ini belum pernah disesuaikan, yaitu masih di harga Rp 5.150 per liter. Sementara harga minyak mentah dunia untuk Indonesia (ICP) terus mengalami fluktuasi. Pada bulan Juni 2019, harga ICP mencapai US$ 61 per barel, turun 10,42% dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar US$ 68,1 per barel.
“Konsekuensi dari pemangkasan alokasi anggaran subsidi pada Tahun 2020 berpotensi membuat harga BBM solar mengikuti harga keekonomiannya, bisa turun atau naik,” kata Defiyan.
Sementara itu, penyaluran subsidi BBM 2019 diperkirakan mencapai Rp 33,83 Triliun, yang berarti 0,8% lebih besar dibandingkan pagu APBN yang sebesar Rp 33,55 Triliun. Realisasi subsidi BBM jenis solar hingga bulan Mei 2019 telah mencapai Rp 12,23 Triliun, yang berarti masih terdapat sisa alokasi subsidi sejumlah Rp 21,60 Triliun dari target realisasi atau Rp 21,32 Triliun dari pagu anggaran.
Berdasarkan data alokasi Rp 1.000 per liter dalam RAPBN dan dengan harga BBM jenis solar Rp 5.150 per liter, berarti kelompok masyarakat konsumen yang memperoleh subsidi ini yang seharusnya membayar Rp 6.150, hanya membayar Rp 5.150 per liter.
“Namun pertanyaannya adalah apakah konsumen yang menikmati harga BBM subsidi jenis Solar ini adalah memang kelompok masyarakat yang layak memperolehnya? Atau alokasi anggaran subsidi BBM jenis Solar dan Premium lebih banyak dinikmati oleh kelompok yang tidak layak untuk memperoleh harga subsidi (bukan kelompok masyarakat miskin) atau tidak tepat sasaran?” Tanya Defiyan.
Lebih jauh ia mengatakan , jika mengacu pada angka realisasi subsidi BBM jenis Solar yang sebesar Rp 33,83 Triliun itu, maka jumlah liter Solar yang dialokasikan untuk konsumen yang menikmati subsidi dalam setiap harga subsidi itu adalah 0,194 liter. Lalu, apakah harga Rp 5.150 per liter yang diterima oleh Pertamina sebagai BUMN yang ditugaskan menyalurkan subsidi BBM jenis Solar sebagai sebuah kewajiban atau Public Service Obligation (PSO) berdasar perintah pasal 66 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini telah memperoleh harga yang wajar dari pemerintah? “Kalau tidak wajar dan pemerintah juga masih berpiutang atas alokasi subsidi BBM tersebut kepada BUMN Pertamina, lalu bagaimana mungkin beban BUMN dalam mengatasi defisit minyak dan gas melalui pengembangan bisnisnya bisa teratasi?” tanya Defiyan.
Menurut Defiyan, melalui prinsip alokasi berdasar kelompok sasaran dan pertimbangan harga yang wajar (berdasar Harga Pokok Produksi/Penjualan) itulah seharusnya alokasi subsidi ditetapkan. “Dengan demikian alokasi subsidi BBM jenis Solar maupun Premium tidak ditetapkan terlalu jauh selisih dari realisasinya, dan pemerintah mampu membayarnya ke Pertamina dengan angka yang valid. Selama ini, realisasi BBM subsidi jenis Solar dan Premium tak dapat dikendalikan (uncontrolable) dengan baik kelompok pemanfaatnya, sehingga subsidi lebih banyak tidak tepat sasaran karena dilakukan secara terbuka,” pungkasnya.(Adi)
No comments so far.
Be first to leave comment below.