DIVESTASI FREEPORT
ENERGI August 30, 2017 Editor SitusEnergi 0
Oleh:Kholid Syeirazi (Centre For Energy Policy)
Selasa, 29 Agustus 2017 kemarin, media mengabarkan ujung dari sebuah perundingan alot: Freeport setuju mendivestasikan 51% sahamnya kepada pihak Indonesia, setuju berubah menjadi IUPK, berkomitmen membangun smelter dalam tempo lima tahun, berjanji membayar royalti lebih tinggi, dan–sebagai imbalannya–Freeport kan memperoleh perpanjangan izin tambang hingga 2041 (2 x 10 tahun).
Tenggat kewajiban Freeport mendivestasikan saham hingga 51% sebenarnya sudah harus terlaksana pada 2011 sebagaimana tertuang dalam Kontrak Karya Tahun 1991, Pasal 24 tentang Promosi Kepentingan Nasional (kutipan KK Pasal 24 terlampir). Pembangunan smelter, sesuai kontrak Pasal 10, semestinya juga sudah terbangun pada 1996 (Kutipan KK Pasal 10 terlampir). Tetapi, apa mau dikata, seperti yang kita ketahui semua, Freeport ini perusahaan ajaib, kedudukannya seperti negara dalam negara. Kontrak Karya berpola G2B (Government to Business) menyandera Pemerintah, siapa pun Presidennya, untuk menjunjung Freeport sederajat kedudukannya dengan negara. Butir-butir Kontrak Karya sama dengan Undang-Undang lex specialis, mengecualikan berlakunya hukum baru (prevailing law) yang dibuat Presiden dan DPR. Sejauh hukum baru itu menyelisihi kontrak, Freeport boleh ‘bandel’ karena punya ‘jimat’ yang bernama Kontrak Karya.
Dulu saham Freeport dicuplik sedikit oleh Pemerintah dan swasta nasional. Seterusnya saham swasta di-buy back oleh Freeport. Kini Freeport pegang 90,64% saham, sisanya Pemerintah RI 9,36%. Porsi pemegang saham minoritas membuat Pemerintah mandul dalam mempengaruhi manajemen dan kebijakan perusahaan. Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa ketika Freeport menangguhkan pembayaran dividen.
Dengan kesepakatan baru ini Freeport harus melepas sisa sahamnya hingga tercapai 51%. Berarti ada 41,64% saham yang harus dilepas ke pihak Indonesia, baik Pemerintah maupun swasta. Tugas Pemerintah adalah membentuk tim appraisal independen untuk menilai kewajaran nilai saham PTFI per lembar. Tahun lalu, awal Januari 2016, PTFI menawarkan 10,64% sahamnya senilai US$1,7 miliar, jumlah yang dinilai overvalue alias kemahalan karena nilai pasar FCX, induk perusahaannya, sedang jeblok di bursa New York. Pemerintah saat ini punya posisi lebih baik karena kondisi FCX dan PTFI sedang menurun sehingga tidak lagi bisa berlagak dan jual mahal. Saya menduga, kesepakatan ini tercapai tidak lepas dari kedatangan Wapres AS Mike Pence tempo hari, yang menginginkan kelangsungan investasi Freeport di Papua, dan karena itu kedua belah pihak harus mengendorkan urat agar kesepakatan dapat tercapai. Freeport setuju divestasi, Pemerintah menjamin kelangsungan bisnis PTFI hingga 2041.
Dari perspektif saya sebagai pengamat bebas, Pemerintah sebaiknya mengelola sendiri tambang Papua melalui BUMN seperti Antam. Freeport tetap bisa operasi, tetapi sebagai kontraktornya BUMN. Namun, ada hal lain secara geopolitik yang dihitung Pemerintah sehingga PTFI tetap diberi kesempatan. Karena itu, yang diperlu dicermati sekarang, siapa calon pembeli potensial saham PTFI? Dalam tahun politik menjelang 2019, akuisisi saham di manapun adalah ajang perburuan rente. Akan ada skandal papa-papa minta saham yang lain.[r]
No comments so far.
Be first to leave comment below.