Oleh:
Sofyano Zakaria*
Pemerintah terdengar merencanakan lakukan program Distribusi tertutup untuk lpg 3kg.
Rencana Pemerintah tersebut merupakan salah satu solusi menekan kuota subsidi elpiji 3 kg yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun yang menggerus anggaran pemerintah.
Peningkatan kuota elpiji 3 kg tentu saja tidak lepas dari tidak jelasnya Peraturan Pemerintah terhadap peruntukan dan pengguna elpiji bersubsidi itu sendiri.
Pada dasarnya, distribusi tertutup , pasti memerlukan pengawasan yang ketat melekat dan berkesinambungan.
Memerlukan jumlah sdm yang signifikan dan juga keberhasilannya akan pula bergantung kepada sdm tersebut dalam artian bagaimana komitmen nya untuk mengawal dan mengawasi keberhasilan program tersebut.
Distribusi tertutup tentu akan dilaksanakan dengan menentukan siapa masyarakat yang diberi hak dan berhak untuk boleh gunakan elpiji bersubsidi. Ini bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan walau pelaksanaannya bersifat memaksa sekalipun.
Dan terhadap distribusi tertutup , jika pelaksanaannya tanpa diikuti adanya sanksi pidana yang diatur dalam UU yang memiliki kekuatan hukum untuk menetapkan sanksi pidana terhadap pelanggaran terkait distribusi tertutup , maka “orang” akan tetap saja berani melakukan pelanggaran terhadap program tersebut. Pertanyaan mendasarnya pula, apakah jika ada rakyat yang tidak berhak membeli satu atau dua tabung elpiji 3 kg maka dia harus dihukum?
Ini pertanyaan yang akan dilematis untuk dijawab.
Maka ujung-ujungnya , pengawasan terhadap distribusi tertutup , berpotensi hanya akan membuat “masalah” bagi bumn Pertamina yang selama ini mendapat dan dipercaya pemerintah melaksanakan penugasan terhadap pengadaan dan distribusi elpiji 3kg.
Himbauan
Pengalaman pemerintah selama ini terkait bbm subsidi , jelas terbukti bahwa pemerintah hanya bisa “menghimbau” agar orang kaya atau orang mampu untuk tidak membeli dan atau menggunakan bbm bersubsidi.
Pemerintah terbukti tidak pernah berhasil melarang orang kaya untuk tidak menggunakan bbm bersubsidi.
Melarang masyarakat mampu untuk tidak gunakan lpg subsidi tentu sangat berpotensi menimbulkan dan akan “bermasalah” dengan azas keadilan dan ini pasti akan menimbulkan pro kontra dan debatable berkepanjangan serta gejolak sosial , apalagi pada kenyataannya tidak ada undang undang yang khusus mengatur tentang subsidi.
Koreksi Harga
Pemerintah harusnya berani membuat terobosan untuk secara bertahap mengurangi subsidi dengan mengkoreksi naik harga elpiji 3 kg yang terbukti sejak diluncurkan nya program konversi minyak tanah ke elpiji tahun 2001,harga jualnya tidak pernah di koreksi naik oleh pemerintah .
Ini berbeda dengan subsidi bbm yang telah nyaris dihapus total dan ternyata berhasil, sukses dilakukan oleh Pemerintahan Joko Widodo.
Seperti halnya dengan bbm yang hanya tinggal bbm solar saja yang masih di subsidi Pemerintah , ternyata penghapusan subsudi pada bbm premium bisa berjalan dengan nyaris tanpa menimbulkan masalah serius. Ini seharusnya dijadikan pertimbangan oleh pemerintah dalam melakukan kebijakan harga terhadap harga elpiji 3kg.
HET Tidak Terbukti
Harga (HET) elpiji 3 kg yang ditetapkan oleh pemerintah sejak dulu , sejak dilaksanakannya program konversi minyak tanah , adalah Rp.4.250/kg .
Namun kenyataannya , konsumen di tanah air, selama ini, membeli elpiji dari pengecer dan atau pangkalan elpiji selalu dengan harga yang tidak sesuai dgn HET , baik yang ditetapkan pemerintah pusat (menteri esdm) dan atau HET yang ditetapkan gubernur dan atau bupati atau walikota.
Dan kenyataannya , Pembelian elpiji 3kg yang nyaris tidak mengacu kepada ketentuan pemerintah itu , ternyata pula nyaris tidak bermasalah buat masyarakat dan anehnya tidak pula dipermasalakan oleh Pemerintah yang berkuasa sejak tahun 2001.
Masyarakat seperti nya berpendapat harga yang tidak sesuai dengan HET tidaklah masalah , asalkan elpiji 3kg selalu tersedia dan dapat mudah diperoleh.
Jika pemerintah menetapkan mengkoreksi atau menaikan harga jual elpiji 3kg menjadi setidaknya sebesar Rp.6.500/kg , namun dengan catatan bahwa pemerintah menjamin bahwa harga itu berlaku sama diseluruh indonesia dan itu pada dasarnya merupakan pula HEN (harga eceran nyata) yang berlaku sama di seluruh wilayah NKRI , maka diyakini ini bisa diterima dan tidak akan menjadi masalah serius oleh masyarakat .
Tata Ulang Pola Distribusi
Untuk terwujudnya satu harga yang sama di seluruh Indonesia , pemerintah harus melakukan tata ulang pola /mekanisme distribusi elpiji yang ada dengan menetapkan mata rantai distribusi Elpiji adalah menjadi :
Pertamina ➡ spbe ➡agen ➡pangkalan ➡pengecer.
Pemerintah perlu membuat ketentuan bahwa untuk selanjutnya Pengangkatan , pembinaan , pengawasan Pangkalan dan pengecer elpiji 3kg diserahkan dan menjadi domain Pemda setempat.
Pertamina hanya “mengelola spbe dan agen elpiji saja”.
Margin
Dengan pola distribusi baru untuk mewujudkan Satu Harga elpiji 3kg diseluruh Indonesia, maka Margin agen , pangkalan dan pengecer ditetapkan dalam HET yang ditetapkan berdasarkan Peraturan presiden atau Peraturan menteri esdm. Pemerintah harus mencabut kewenangan pemda dalam melakukan Penetapan HET di daerah.
Agen, Pangkalan dan Pengecer elpiji 3kg harus mendapat margin dengan mengacu kepada peraturan yang ditetapkan pemerintah.
Kesimpulan
Mengkoreksi harga jual elpiji 3 kg dengan menata distribusi seperti tersebut diatas , jauh lebih baik , lebih mudah dilaksanakan dan lebih bermanfaat bagi masyarakat dan juga pemerintah ketimbang melakukan distribusi tertutup.
Beban Subsidi Pemerintah untuk elpiji 3kg dapat ditekan dan masyarakat terjamin bisa membeli dengan harga yang sama diseluruh wilayah NKRI. (•••)
*Penulis adalah Pengamat kebijakan energi
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik ( Puskepi)
No comments so far.
Be first to leave comment below.