Oleh : Prof Dr Andy Noorsaman S ,DEA,IPU
Guru Besar UI.
Pertamina adalah satu-satunya perusahaan di Indonesia yang pernah mengalami 2 fase eksistensial tanpa pindah alamat: vertically integrated, horizontally unbundled, dan kini perlahan kembali vertically re-aligned. Sejarah industrialnya lebih mirip drama sinetron birokrasi daripada kurva teori organisasi.
Pada 1971, Pertamina berdiri sebagai raksasa vertikal. Ia mengatur sumur, kilang, pipa, kapal, dan SPBU seperti seorang dirigen tunggal. Integrasi terjadi bukan karena teori Porter atau kajian OECD , tetapi karena sederhana saja: begitulah cara energi bekerja. Minyak tidak menunggu rapat koordinasi dan gas tidak membaca SOP.
Lalu muncul era perubahan. Tahun 2001, UU Migas memutuskan bahwa raksasa itu harus dipotong secara horizontal. Alasannya manis— kompetisi, efisiensi, transparansi —kata-kata yang selalu terdengar mulia sampai bertemu tanah lapangan. Pertamina pun berubah dari naga perkasa menjadi puzzle rumit: banyak subholding, banyak direktur, banyak KPI, dan tentu saja, banyak rapat yang mencoba menjelaskan kenapa rapat sebelumnya dianggap belum sinkron.
Secara teori, unbundling menciptakan efisiensi. Secara praktik, yang tercipta lebih dulu adalah inflasi koordinasi: biaya rapat naik, notulen menumpuk, dan seringkali minyak datang lebih cepat daripada persetujuan internal.
Namun dunia berubah lebih cepat daripada PowerPoint. Geopolitik energi menjadi ring tinju; harga minyak berperilaku seperti mahasiswa baru yang baru menerima uang bulanan; dan impor BBM menjadi persoalan fiskal sekaligus elektoral. Di titik ini, negara tiba-tiba teringat sesuatu yang seharusnya jelas dari awal: ketahanan energi tidak diciptakan oleh fragmentasi horizontal.

Maka beberapa bulan kedepan, muncul gelagat re-integrasi. Bukan melalui revisi UU—negara tahu itu terlalu melelahkan—melainkan melalui instruksi operasional, komando supply chain, dan pengembalian logika manajemen rantai pasok. Perlahan, Pertamina kembali disusun sebagai organisme vertikal—meski masih dengan kostum horizontal. Seperti rumah tangga yang secara hukum masih pisah, tetapi tidur di kamar yang sama demi menghemat listrik.
Di sinilah satire akademis menemukan momentumnya:
Kita memecah integrasi demi efisiensi, lalu kita mengintegrasikannya kembali… demi efisiensi.
Teorinya benar, tapi realitasnya lebih benar lagi : minyak tidak tunduk pada seminar, ia tunduk pada gravitasi rantai pasok.
Pertamina beberapa hari/minggu kedepan bukan lagi naga 1971, bukan lagi puzzle 2001, tetapi makhluk hybrid yang sedang mencari anatomi baru. Namun ada satu hal yang tetap: ia selalu diminta menjaga energi bangsa, meski negara sendiri belum selesai memutuskan ingin ia berbentuk apa .
Dalam kebijakan publik, mungkin ini disebut evolusi institusional.
Dalam satire, ini disebut:
Pertamina—makhluk yang disuruh berubah bentuk,
tapi tetap diminta mengalirkan energi tanpa pernah salah waktu.
Sebuah tuntutan yang akademis, sarkastis,
dan sangat… Indonesia. [•]
|A||N||S|
Dosen-GBUI
Buitenzorg,
19Nopember2025
Verba volant, scripta manent
Leave a comment