Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Sejak kasus “oplosan” (faktanya: blending) dan korupsi impor BBM menggelinding, BUMN Pertamina tak hentinya disudutkan. Bahkan, sampai ke produk Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite di SPBU pun digeruduk motor “mbrebet”. Rangkaian peristiwa yang seolah sambung-menyambung dengan kebijakan kuota impor BBM yang ditetapkan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Kenapa demikian? Sebab, kebjikan kuota impor BBM swasta tidak ditambah dan diwajibkan membeli BBM murni (base fuel) ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Pertamina. Perlu digaris bawahi kuota impor BBM merupakan kewenangan pemerintah, bukan Pertamina.
Lalu, sejak kasus BBM jenis Pertalite di Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) dituduh sebagai penyebab sepeda motor mbrebet, maka ditudinglah produk BBM hasil olahan Pertamina tak berkualitas. Tuduhan yang tanpa bukti seolah mengabaikan proses produksi minyak mentah (crude oil) di berbagai kilang Pertamina diawasi dan dijaga ketat standar kualitasnya. Proses produksi yang tidak saja harus memenuhi standar kualitas internasional mulai dari bahan baku tetapi juga dalam pemrosesan minyak mentahnya (crude oil) menjadi berbagai jenis BBM dan produk turunan lainnya melalui uji laboratorium.
Tanpa standar kualitas produksi dan produk BBM yang memenuhi kualifikasi pasar internasional tidak mungkin PT. Pertamina beroleh berbagai penghargaan (awards). Dasar pengakuan internasional atas produk BBM yang diolah oleh anak usaha Pertamina (sub holding) PT. Kilang Pertamina Internasional (KPI) ini menjadi bukti produk BBM dihasilkan melalui proses produksi yang runut (by processing). Artinya, bukan dihasilkan melalui proses campur-campur di luar proses produksi kilang yang selama ini diisukan oleh beberapa pihak di ruang media sosial secara massif. Apalagi, BUMN adalah pemegang mandat konstitusi Pasal 33 UUD 1945 sangat berbeda dengan korporasi swasta yang hanya mencari laba atau keuntungan.

Oleh karena itu, publik tidak bisa melakukan berbagai bingkai persepsi (framing) atas Pertamina jika itu didasari oleh kebijakan kuota MESDM. Sebab, jelas berbeda kasus korupsi impor BBM yang diselidiki oleh aparat penegak hukum, yaitu Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai tindak kejahatan di satu sisi. Kasus korupsi ini tidak bisa digebyah uyah menjadi “kemarahan” yang ditumpahkan seolah-olah keseluruhan entitas usaha Pertamina salah. Apalagi, diwaktu yang bersamaan tidak adanya tambahan kuota impor BBM menjadi momentum yang dimanfaatkan pihak tertentu untuk menyudutkan citra Pertamina. Atau buruk kuota impor BBM, cermin Pertamina yang dibelah!
Di sisi lain, SPBU sebagai penyalur BBM produk Pertamina tidak semua dikuasai atau dioperasikan oleh Pertamina. Sebagian besar dari 13.603 unit SPBU menurut data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM (Ditjen Migas KESDM) per triwulan I/2025 justru dikelola oleh mitra Pertamina yang merupakan pihak swasta. Atau hanya 4 persen yang dikelola langsung melalui anak usaha (sub holding C&T) PT. Pertamina Patra Niaga (PPN). Di sektor hilir perdagangan BBM ini Pertamina tidak menguasai pasar SPBU secara monopolistik seperti yang dipersepsikan oleh pesaingnya. Last but not least, penyebab lain motor mbrebet sangat dimungkinkan oleh abainya atas perawatan kendaraan konsumen BBM itu sendiri.[•]
Leave a comment