Jakarta, Sitisenergy.com
Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) bertekad akan terus akan mengawal proses pengalihan pengoperasian Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina. Pasalnya, ditengarai bakal ada intervensi, tekanan dan intrik serta kepentingan lain yang akan menggagalkan proses pengalihan pengoperasian blok migas tersubur ini ke pangkuan Pertamina. Apa indikasinya?
Pada 4-5 Agustus 2018 Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Michael R. Pompeo datang ke Indonesia. “Memang saya tidak up date. Tapi bukan tidak mungkin ada kaitan antara kedatangan Menlu AS ke Indonesia dengan Blok Rokan. Bahkan tidak mustahil ada kebijakan lain terhadap Blok Rokan,” kata Presiden FSPPB Arie Gumilar, pada sejumlah wartawan, Jumat (10/8) di Jakarta.
Berselang sehari setelah kedatangan Menlu AS tersebut, lanjut Arie, Menteri Jonan menyatakan, ‘Pertamina wajib bermitra dengan KKS eksisting’. Padahal pada 31 Juli 2018, Menteri Jonan menegaskan Blok Rokan diserahkan 100% ke Pertamina. Hal ini menjadi indikator bahwa kebijakan dalam sehari bisa berubah. Apalagi berakhir masa kontrak Chevron di Rokan pada tahun 2021. Masih ada 3 tahun lagi.
Arie menyatakan, intervensi asing melalui pemerintah juga terjadi pada Blok Mahakam. Kasus Blok Mahakam misalnya, Pertamina sudah menerima 100% Blok Mahakam per 1 Januari 2018, Blok Mahakam 100% dikelola Pertamina. Namun ketika PM Perancis datang ke Indonesia, tidak lama kemudian Menteri Jonan menyatakan bahwa Pertamina harus melakukan share down sebesar 39%. Padahal saat itu ada acuan Permen ESDM 15/2014 yang menyatakan, Pertamina boleh melakukan share down maksimal 30%. Tapi karena ada intervensi maka akhirnya diubah dari 30% menjadi 39%.
Lebih jauh Arie mengungkapkan, adanya Permen ESDM 23 / 2018 belum dicabut. Isi Permen tersebut, pemerintah lebih memprioritaskan pengelola eksisting untuk mengelola blok dibanding ke Pertamina. “Untuk itu, FSPPB terus akan mengawal proses pengalihan pengoperasian Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina,” tegasnya.
Sebenarnya, Blok Rokan belum diserahterimakan ke Pertamina tetapi hanya diberikan kepastian bahwa pada tahun 2021 akan diberikan ke Pertamina. Hal itu berdasarkan analisa, evaluasi, proposal teknis dan keekonomian, seperti disampaikan oleh Menteri Jonan.
Dia mengungkapkan, sebagai Menteri, Jonan tidak perlu membanding-bandingkan Pertamina dengan Kontraktor Asing. Karena Menteri sebagai representasi negara memiliki hak untuk menunjuk langsung BUMN dengan semangat Nasionalisme.
Menurut Arie, yang terjadi malah sebaliknya. Menteri Jonan malah menyatakan, ‘Ini bukan nasionalisasi. Tidak ada Nasionalisme, ini murni bisnis!’.
“Menurut kita pernyataan Menteri Jonan adalah pelecehan. Bila melihat dari ranking perusahaan minyak dunia, Pertamina kalah jauh dibandingkan Chevron. Chevron berada di peringkat 20-an, sedang Pertamina diperingkat 230-an. Ini dibanding-bandingkan untuk diadu. Kita tidak tahu ada skenario apa dibalik pernyataan Menteri Jonan tersebut,” tukasnya.
“Seharusnya Menteri ESDM punya kewenangan menyerahkan secara langsung ke Pertamina tanpa harus membanding-bandingkan aspek bisnis, teknis dan kemampuan SDM. Kalau sampai membanding-bandingkan itu termasuk kategori merendahkan kemampuan anak bangsa. Karena yang bekerja di Chevron sebanyak 90% juga orang Indonesia,” papar Arie.
Bahkan Serikat Pekerja Chevron Indonesia mendukung sepenuhnya penyerahan Blok Rokan oleh pemerintah ke Pertamina.
Blok Rokan merupakan produsen minyak terbesar di Indonesia dengan cadangan 500 juta sampai 1,5 miliar barel setara minyak.
Berdasarkan catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) produksi minyak siap jual Rokan selama semester I 2018 sebesar 771 ribu barel per hari, porsi produksi Rokan mencapai mencapai 207.148 barel. (Fyan)
 
                                                                         
                             
                             
                                 
 
			         
 
			         
 
			         
 
			        
Leave a comment