

APBI : Kegiatan Pertambangan Tanpa Izin Marak Akibat Kesenjangan Sosial
MINERBA July 29, 2022 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, Situsenergi.com
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menegaskan bahwa penyelesaian masalah Pertambangan Tanpa Izin (Peti) harus total football. Governance dari perusahaan, hubungan perusahaan dengan masyarakat sangat berhubungan dengan maraknya kegiatan Peti karena akarnya adalah kesenjangan sosial.
“Yang kami harapkan adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan berkah dari lonjakan harga (komoditas), karena sangat krusial bagi cadangan sumber daya minerba dan investasi,” kata Hendra dalam Webinar E2S bertema “Berantas Tuntas Pertambangan Tanpa Izin” di Jakarta, Kamis (28/7/2022).
Menurut dia, kegiatan Peti marak terjadi ketika ada lonjakan harga komoditas. Disparitas harga yang tinggi memberikan peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, karena banyak kegiatan di titik pertambangan tanpa izin di sektor mineral.
Meski banyak di konsesi penambangan mineral dibanding batubara, namun nilai kerugian lebih masif di batubara. Peti tidak hanya merugikan penambang, tapi juga negara dan masyarakat, kata dia’ perlu diselesaikan secara permanen.
“Ini bukan hanya keinginan pemerintah saja, tapi pelaku usaha agar kegiatan Peti bisa diselesaikan secara permanen,” kata Hendra.
Pemerintah Tak Menutup Mata
Inspektur Tambang Ahli Madya Ditjen Minerba Kementerian ESDM Antonius Agung Setiawan mengatakan, bahwa
pemerintah tidak menutup mata terhadap merebaknya kegiatan Pertambangan Tanpa Izin (Peti), meski aturannya hanya ada di UU No. 3/2020.
Menurutnya, kemunculan Peti itu disebabkan adanya beberapa sebab seperti keterbatasan lapangan kerja, desakan ekonomi, tidak diperlukan syarat pendidikan, tergiur hasil yang instan, dan mudah dikerjakan.

“Pelaku Peti umumnya merupakan masyarakat yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan pekerjaan di bidang formal, kata dia,” kata Antonius.
Lebih jauh ia mengatakan, strategi pemerintah untuk menangani Peti tentunya berlandaskan hukum pertambangan tanpa izin, yakni UU No. 3/2020 jo UU No. 4/2009 pasal 158, 160, 161. Tidak ada dasar hukum lagi selain yang ada di UU tersebut.
“Menurut saya amunisi dari sisi regulasinya sangat kurang. Penafsiran kami adanya kegiatan Peti ini masuk ranah pidana,” tegas dia.
Antonius juga mengungkapkan bahwa jika dibandingkan dengan sektor kehutanan atau kelautan, Peti ini sangat berbeda. Di kehutanan ada perangkat untuk mengamankan hutan, demikian juga wilayah laut.
“Strategi dan upaya penanganan Peti yang dilakukan Kementerian ESDM dengan menata wilayah pertambangan dan regulasi guna mendukung pertambangan berbasis rakyat, meningkatkan peran PPNS dalam pembinaan terhadap pertambangan berbasis rakyat, pendataan dan pemantauan kegiatan Peti oleh inspektur tambang, hingga upaya formalisasi menjadi wilayah pertambangan rakyat dan IPR,” paparnya.
Sementara Kepala Unit 3/Subdit V Sumber Daya Alam Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Komisaris Polisi Eko Susanda mengatakan dari aspek penegakan hukum, Polri sangat terbatas sumber dayanya. Apalagi, pihaknya tidak hanya menangani perkara pertambangan saja, namun ada 55 perkara perundangan yang harus ditangani.
“Perlu peran pemerintah untuk mencarikan strategi penyelesaian masalah Peti, meski di sisi lain polisi tetap melakukan penegakan hukum. Pemda juga bisa menyediakan lapangan kerja lain, edukasi ditingkatkan, itu tentu akan lebih baik,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ahmad Redi, pakar hukum pertambangan dari Universitas Tarumanegara Jakarta, mengatakan ada dua faktor yang menjadi penyebab dari Peti, yakni faktor sosial dan hukum.
Faktor sosial karena kegiatan tersebut sudah menjadi pekerjaan turunan karena dilakukan secara turun menurun oleh masyarakat setempat. Selain itu juga terdapat hubungan yang kurang harmonis antara pertambangan resmi atau berizin dan masyarakat setempat.
Sementara faktor penyebab Peti secara hukum, akibat dari ketidaktahuan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pertambangan. Kelemahan penerapan peraturan di bidang pertambangan tercermin dalam kekurangberpihakan kepada kepentingan masyarakat luas.
“Satgas perlu dibentuk karena menjadi bentuk keseriusan negara sehingga bisa mendapatkan penerimaan negara dari penambangan legal. SDA adalah karunia Tuhan bagi masyarakat yang ada di sekitar wilayah tambang,” tutup dia.(Ert/SL)
No comments so far.
Be first to leave comment below.