Home MIGAS Antara Pertalite dan RON95
MIGAS

Antara Pertalite dan RON95

Share
Share

Oleh : Andi N Sommeng

Harga BBM selalu tampak sederhana. Angka yang berkelip di papan digital SPBU, diikuti bunyi klik ketika selang dilepas dari tangki. Tapi di balik angka itu, ada lapisan-lapisan yang rumit: kebijakan, fiskal, sejarah industri, bahkan politik.

Di Malaysia, harga RON95—setara dengan Pertamax—dipatok murah, sekitar RM2,05 per liter. Pemerintah menutup selisih harga internasional dengan subsidi langsung. Tak ada jargon “subsidi tepat sasaran.” Tak ada drama kompensasi yang dibayar belakangan. Bagi rakyat, BBM terasa seperti teh tarik: manis, murah, mudah dijangkau. Bagi negara, ia adalah biaya legitimasi.

Indonesia, sebaliknya, memperlakukan harga Pertalite sebagai janji yang cair. Hari ini disubsidi, besok dikompensasi, lusa dinegosiasikan kembali. Pemerintah bicara tentang defisit APBN, keberlanjutan fiskal, subsidi yang salah sasaran. Rakyat mendengar bahasa lain: ongkos ojek naik, harga cabai melonjak, pengeluaran bulanan makin tipis.

Di titik inilah Rousseau relevan. Ia menulis tentang kontrak sosial: negara hadir karena rakyat mengikatkan diri padanya, dengan harapan negara melindungi kehidupan sehari-hari. Tapi di pompa BBM, kontrak itu sering terasa rapuh. Negara meminta rakyat memahami logika fiskal. Rakyat merasa negara abai pada logika perut.

Kebijakan yang Membeda

Malaysia memilih mengurangi pajak dan menjaga subsidi. Energi murah dianggap hak sosial, alat stabilitas politik. Petronas, perusahaan minyak mereka, berfungsi sebagai mesin negara: efisien, terintegrasi dari hulu hingga hilir, memberi surplus besar yang memungkinkan harga ditahan rendah.

Indonesia menambah lapisan: PBBKB untuk pemerintah daerah, PPN untuk pusat, margin distribusi, plus biaya logistik di negeri kepulauan. Pertamina—BUMN kita—dituntut mencari laba, tapi juga dibebani misi sosial. Kilang yang stagnan sejak 1990-an membuat impor BBM tak terhindarkan. Maka harga di SPBU adalah akumulasi dari keterbatasan industri, pungutan fiskal, dan pilihan politik.

Nietzsche pernah menyebut negara sebagai “monster paling dingin.” Mungkin ia benar ketika kita melihat bagaimana harga BBM ditetapkan dari ruang rapat yang berpendingin udara, jauh dari pasar, jauh dari dapur rakyat. Tapi Montesquieu akan mengingatkan: kekuasaan harus dibagi, agar logika fiskal tidak mengalahkan logika sosial.

Jalan Raya dan Meja Rapat

Setiap kali harga BBM naik, sosiologi jalanan segera hidup. Mahasiswa turun, ban bekas dibakar, spanduk terbentang. Di sisi lain, di ruang rapat kementerian keuangan, pejabat menyalakan kalkulator, menghitung selisih harga keekonomian dan subsidi. Jalan raya berbicara dengan api, ruang rapat berbicara dengan angka.

Malaysia menutup jurang itu dengan harga murah, menghindari benturan antara jalan dan meja. Indonesia membiarkan keduanya bertabrakan. Akibatnya, harga BBM di sini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal politik jalanan.

Ironi dan Cermin

Ironinya jelas: Indonesia pernah menjadi eksportir minyak, kini importir besar. Malaysia cadangannya tak jauh lebih banyak, tapi mereka membangun kilang RAPID Johor dan menjaga efisiensi. Kita punya daftar panjang proyek kilang yang macet: Tuban, Bontang, Cilacap. Hasilnya terlihat di pompa: bensin lebih murah di Kuala Lumpur, lebih mahal di Jakarta.

Harga BBM, dengan demikian, bukan sekadar selisih rupiah. Ia adalah cermin. Di sana, negara menunduk memberi. Di sini, negara berdiri meminta sabar.

Dan mungkin, dalam cermin itu, kita bisa mengajukan pertanyaan yang tak pernah sederhana: apakah energi adalah hak dasar rakyat, atau sekadar komoditas pasar? Apakah negara hadir sebagai pelindung kehidupan sehari-hari, atau sekadar penagih pengertian?

Pertanyaan itu tak dijawab tuntas oleh grafik fiskal maupun orasi di jalan. Tetapi setiap kali kita berdiri di depan pompa, memegang selang, melihat angka berlari di layar—sesungguhnya kita sedang membaca wajah negara.[]

|A||N||S|
Dosen-GBUI
Buitenzorg,
28 September 2025

Verba volant, scripta manent

Share

Leave a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Articles

Dirut Pertamina Tinjau Paddock VR46 Racing Team di Ajang Pertamina Grand Prix of Indonesia 2025

Lombok, situsenergi.com Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri melakukan kunjungan...

Mahasiswa Berprestasi PGTC Pertamina Rasakan Pengalaman Berharga Menyaksikan MotoGP Mandalika

Lombok, situsenergi.com PT Pertamina (Persero) memberikan kesempatan istimewa kepada para mahasiswa berprestasi...

Pertamina Grand Prix2025 Dongkrak Ekonomi Warga, Warung Lokal Kebanjiran Pembeli

Lombok, situsenergi.com Hadirnya Pertamina Grand Prix of Indonesia 2025 membawa berkah bagi...

Pelita Air Hadirkan Program High Spender, Menangkan Mobil Listrik BYD

Jakarta, situsenergi.com Pelita Air meluncurkan program loyalitas terbaru bertajuk “Pelita Air High...