Jakarta, situenergy.com
Rancangan Undang – Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang kemarin di sahkan patut mendapat perhatian. Sebab dalam UU Minerba yang baru sebagai pengganti UU yang lama nomor 4 tahun 2009 terdapat beberapa pasal yang menjadi pertanyaan publik. Termasuk diantaranya adalah dari Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mulyanto.
Mulyoto berpendapat bahwa UU Minerba yang baru tersebut mengakomodir kewenangan pemerintah pusat yang bisa melakukan intervensi kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan pertambangan. Padahal tidak semua kewenangan pemerintah daerah tersebut bisa langsung ditarik oleh pemerintah pusat. Hal inilah yang juga menjadi perhatian banyak pihak bahwa dalam UU tersebut termuat pasal yang disinyalir hanya akan menguntungkan perusahaan tambang raksasa saja. Sebab, aturan tersebut akan meminimalisir wilayah dan pelaku lelang Kontrak Karya ataupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
“Oleh karena itu, beberapa kewenangan yang bersifat lokal dalam UU Minerba seperti pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB) harus tetap ada di Pemerintah Daerah Provinsi, begitu juga kegiatan pembinaan dan pengawasan, pemberdayaan masyarakat, dan urusan-urusan lainnya yang terkait erat dengan kepentingan daerah masing-masing,” kata Mulyanto dalam keterangannya, Rabu (13/5).
Fraksinya berpendapat bahwa peran BUMN dan BUMD perlu diperkuat dalam RUU Minerba, agar pengelolaan tambang minerba bisa lebih menghasilkan manfaat yang besar bagi Negara. Hal ini diwujudkan dengan pemberian prioritas kepada BUMN dan BUMD dalam penawaran WIUP/WIUPK yang baru maupun WIUP/WIUPK yang habis masa kontraknya, termasuk juga untuk wilayah eks KK dan PKP2B yang habis masa kontraknya. Selain itu, penguatan BUMN dan BUMD harus dilakukan melalui divestasi saham 51 persen secara langsung dan berjenjang dari pemegang IUP/IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing, yang dilakukan dengan cara yang tepat agar tidak menimbulkan kerugian bagi negara.
“Kami sesalkan pasal terkait dengan perpanjangan masa kontral karya yang sudah habis masa berlakunya (pasal 169 A) dapat memperoleh IUPK masih berlaku. Padahal sejatinya bisa di lelang dan diprioritaskan untuk BUMN” ujar Doktor lulusan Jepang ini.
Legislator asal Banten ini menjelaskan, Insentif berupa perpanjangan jangka waktu IUP/IUPK memang diperlukan bagi pelaku usaha pertambangan minerba yang terintegrasi dengan fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter). Akan tetapi, insentif tersebut harus tetap dibatasi jangka waktunya, bukan malah diberikan tanpa ada batasan yang jelas kapan berakhirnya sebagaimana Pasal 47,83, dan 169A rancangan RUU Minerba hasil pembahasan Panja, yang berarti bahwa sumber daya minerba tersebut akan dikuasai selamanya oleh pemegang IUP/IUPK selama bisa berproduksi.
Di sisi lain Mulyanto menegaskan masyarakat juga memiliki hak mengajukan permohonan untuk melakukan evaluasi, keberatan, dan atau menolak pemberian IUP/IUPK/IPR, serta hak mendapatkan pendampingan berupa bantuan hukum dari ancaman atau gangguan akibat pengusahaan kegiatan pertambangan tersebut.
“Kami berpendapat bahwa RUU Minerba harus mengatur penguatan peran masyarakat dalam kegiatan pertambangan di daerahnya. Selain melalui kewajiban penggunaan sumber daya lokal, masyarakat juga harus memperoleh ganti rugi yang layak apabila terjadi kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan.” Ujar Mulyanto (DIN/rif)
Leave a comment