

Aneh, Produksi Solar HSD Pertamina Melimpah, Kok Impor Malah Meningkat?
MIGAS April 24, 2021 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, situsenergi.com
PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) mengklaim, produksi solar High Speed Diesel (HSD) mengalami surplus, terimbas dari masih rendahnya tingkat utilisasi industri akibat pandemi Covid-19. Bahkan, KPI mengklaim, kelebihan atau surplus tersebut akhirnya diekspor ke Singapura, meski tidak disebutkan berapa jumlah yang diekspor tersebut.
“HSD justru berlebih. Kami mengurangi produksi karena lemahnya demand,” ujar Corporate Secretary Sub holding Refining & Petrochemical (PT Kilang Pertamina International) Ifki Sukarya, dikutip dari katadata.co.id, Sabtu (24/4/2021).
Informasi tentang lonjakan impor solar HSD sendiri terungkap dalam rilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa impor solar naik dari 214.168 ton pada Februari menjadi 346.947 ton bulan lalu. Impor solar HSD naik hingga 83,82 persen dari 154,28 ribu ton menjadi 283,59 ribu ton.
Pernyataan Ifki tersebut diamini oleh Mantan Direktur UTAMA KPI, Ignatius Tallulembang. Menurutnya tindakan ekspor itu diambil lantaran kapasitas penyimpanan solar yang dimiliki perusahaan sangat terbatas. Ekspor itu suatu keniscayaan yang harus dilakukan guna menghindari penghentian operasi kilang yang kelebihan kapasitas.
Ignatius juga mengungkap bahwa ekspor yang dilakukan ke Singapura tersebut hanya sejumlah satu kargo saja. Hal ini untuk menjaga produksi KPI, dimana kapasitas kilang sudah terpakai 75 persen.
“Itu yang menjadi alasan kenapa harus menjual produk solar ini ke luar negeri dan tentu harga jualnya sesuai harga pasar,” tegasnya.
Pernyataan Ignatius dan Ifki tersebut ternyata berbeda dengan yang disampaikan Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM Soerjaningsih, saat dikonfirmasi katadata.co.id. Pejabat Kementerian ESDM itu justru menyangkal Pertamina kelebihan produksi solar HSD dan tidak mengakui adanya ekspor ke Singapura.
“Nggak lebih. Nggak ada ekspor,” katanya.
Sementara itu, kejanggalan mengenai bisnis solar ini sebenarnya telah tercium oleh Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), dimana anggotanya terdiri dari banyak lembaga, seperti Energy Watch, Ekonom Konstitusi, Energy Watch Indonesia, hingga Puskepi, IRESS, AEPI dan banyak praktisi migas lainnya.
Dalam diskusi virtual ‘Menelisik Bisnis BBM Solar di Indonesia’, yang digelar oleh Energy Watch, berkolaborasi dengan Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), Ruang Energi dan Situs Energi, Kamis (8/4/2021) lalu sudah terkuak sejumlah fakta dan kejanggalan dari bisnis solar di Indonesia.
Politisi Partai Hanura, Inas N Zubir misalnya yang menyampaikan bahwa ia merasa heran dan aneh soal impor solar. Kalau Pemerintah mau melarang impor solar ya langsung terbitkan saja surat larangan import jangan bentuk nya himbauan atau surat edaran. Larangan itu musti tegas misalnya lewat Keputusan Menteri ESDM yang khusus melarang import solar.
Hal aneh lainnya , menurut Inas lagi , karena harga solar swasta yang didapatkan dari hasil impor, dengan beban biaya pajak, distribusi dan lain-lain, justru harganya bisa lebih murah dari harga jual solar produksi Pertamina alias produk lokal.
Inas pun berhitung, solar impor yang kemudian terkena beban biaya distribusi, landed cost, PPn, PPh dan PBBKB, dimana selayaknya dijual dengan harga Rp10.825 per liter, ditemukan di lapangan justru dijual dengan harga Rp7.650 per liter. Hal itu disebutnya tidak masuk akal dan aneh.
“Harga yang seharusnya itu Rp10.825 itu harga seharusnya. Tapi yang lucunya, saya baru lihat di Tokopedia, bisa jual Rp7.650 per liter. Saya lihat di Bukalapak ada yang jual Rp8.000. Pertanyaan saya, ini gila. Apa mungkin dengan biaya-biaya itu menjual dengan harga Rp7.650 per liter. Kalau dia jual Rp7.650 per liter, harga tanpa landed cost nya Rp6.548 per liter, maka berapa marginnya? Cuma Rp300 per liter, itu belum termasuk biaya distribusi dan logistik. Jadi pertanyaan saya adalah, darimana mereka mendapatkan solar murah?,” ujar Inas.
Maka itu, Inas melihat celah BBM impor itu mampu dimainkan oleh pihak swasta, Inas pun menyarankan agar impor solar benar-benar di stop oleh pemerintah. Sebab menurutnya, celah impor inilah yang diduga dilakukan oleh oknum tertentu untuk memanfaatkan celah demi mengeruk keuntungan pribadi.
Selain itu, kata Inas, pemerintah juga harus memiliki neraca solar yang jelas, agar penyelewengan solar oleh para distributor nakal bisa dihentikan.(SNU/RIF)
No comments so far.
Be first to leave comment below.