

Ada Apa Dengan BBM Subsidi Selalu Tidak Tepat Sasaran?
MIGAS December 8, 2023 Editor SitusEnergi 0

Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Subsidi merupakan terminologi “bantuan” anggaran yang diberikan oleh pemerintah kepada yang berhak menerimanya. Begitu juga halnya dengan kuota alokasi BBM bersubsidi maksud dan tujuannya adalah untuk kelompok masyarakat tertentu. Akan tetapi, kalau alokasi kuota subsidi dari jenis BBM tidak tepat sasaran atau penerima subsidinya bukan kelompok yang berhak siapakah yang harus dipersalahkan dan bertanggungjawab? Bahkan, Pesiden telah mengeluh berulangkali soal membengkaknya alokasi subsidi energi, khususnya Bahan Bakar Minyak (BBM) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun hingga sejumlah Rp502,4 triliun pada tahun 2022 lalu. Menjadi pertanyaan serius bagi publik, sebenarnya berapakah angka yang tepat untuk besaran alokasi kuota dan anggaran BBM bersubsidi ini?
Jika mengacu pada angka yang disampaikan Presiden Joko Widodo itu, maka proporsi jumlah alokasi anggaran untuk subsidi 2 jenis BBM solar dan pertalite semestinya hanya berjumlah Rp242,5 triliun. Lalu, sisa alokasi anggaran subsiidi sejumlah Rp259,9 triliun digunakan untuk kepentingan subsidi energi lainnya, seperti elpiji, minyak tanah dan listrik. Alokasi subsidi BBM ini menurut data Kementerian Keuangan terdiri dari Rp93,5 triliun untuk kuota pertalite sejumlah 23,05 juta kiloliter (KL)/tahun, dan Rp149 triliun bagi kuota solar sejumlah 25,01 juta KL. Namun, sayangnya menurut pengakuan Menteri Keuangan Sri Mulyani ternyata 80 persen dari Rp242,5 triliun alokasi anggaran subsidi (pertalite dan solar) yang berjumlah Rp194 triliun ini dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu. Dan, dari jumlah tersebut 60 persen diantaranya dinikmati oleh orang sangat kaya dengan sebutan crazy rich sekitar lebih dari Rp60 triliun.
Sedangkan dari aspek perencanaan, misalnya pada tahun 2022 BPH Migas mencatatkan alokasi kuota solar subsidi berjumlah 15,8 juta KL. Ternyata, pada akhir tahun 2022 realisasinya mencapai 17,5 juta KL atau terdapat selisih kurang dari perencanaan awal sejumlah 1,7 juta KL. Seharusnya dengan dasar data realisasi solar bersubsidi tahun 2022 inilah otoritas berwenang dapat melakukan perencanaan alokasi kuota untuk tahun 2023. Fakta ini semakin menunjukkan, bahwa adanya otoritas yang memiliki kewenangan dalam perencanaan alokasi anggaran BBM bersubsidi tidak bekerja sungguh-sungguh dengan datanya sendiri.
Pemegang otoritas dimaksud apabila mengacu pada peraturan dan per-Undang-Undangan (UU) sebagai landasan hukum yang berlaku, khususnya Pasal 1 angka 16 dan Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 (PP No.30/2009) tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2018 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan Liquefied Petroleum Gas (LPG), maka kewenangan perencanaan, kegiatan penyalurannya dilaksanakan secara mengikat sampai ke pengguna (konsumen) akhir berada pada Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
Dengan demikian, terdapat 2 (dua) faktor penyebab selalu terjadinya kelebihan kuota (over kuota) solar bersubsidi ini, yaitu perencanaan alokasi kuotanya yang tidak berdasarkan data alias ngawur atau asal-asalan dan adanya penyimpangan penerima manfaat yang sengaja dibiarkan terjadi oleh pemangku kebijakan. Konsekuensinya, usulan penambahan kuota solar subsidi dari PT. Pertamina Patra Niaga/PPN (sub holding Pertamina) sejumlah 18,3 juta KL atau 800 ribu KL lebih besar dari realisasi tahun 2022 menjadi sebuah keniscayaan! Pada posisi ini, jelas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina (Persero) tidak bisa menjadi subyek yang dipersalahkan atau dikambinghitamkan karena adanya kekurangan atau kelebihan kuota solar bersubsidi.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan BPH Migas-lah yang bertanggungjawab sesuai kewenangannya yang diberikan oleh UU berdasar data realisasi yang dimilikinya. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga harus menetapkan seleksi kriteria secara jelas, lengkap dan tetap atas subyek penerima manfaat pada Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 Tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (Perpres 191/2014) yang telah diubah menjadi Perpres 117/2021 (perubahan ketiga) sehingga meminimalisir ruang beragam tafsir (multi tafsir) bagi lembaga pelaksananya. [•]
No comments so far.
Be first to leave comment below.