

Kurtubi: Stop Dikotomi Soal Dirut Pertamina Berasal dari Luar atau Dalam
ENERGIOPINI August 29, 2018 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, Situsenergy.com
Anggota Komisi VII DPR RI, DR. Kurtubi meminta semua pihak untuk tidak lagi mempermasalahkan apakah Direktur Utama Pertamina berasal dari dalam atau luar Pertamina.
“Sebaiknya tidak perlu dipermasalahkan lagi apakah Dirut Pertamina berasal dari luar atau dari dalam Pertamina. Karena dalam sejarahnya, pasca Ibnu Surowo, Dirut Pertamina nyaris semua berasal dari ‘orang luar’ dan mereka secara relatif sukses dalam membesarkan Pertamina,” kata Kurtubi dalam pesan singkatnya yang diterima Situsenergy.com di Jakarta, Rabu (30/8).
Sejumlah nama yang pernah menjadi Direktur Utama Pertamina tetapi berasal dari luar diantaranya Piet Haryono mantan Dirjen Anggaran, Abdul Rachman Ramly mantan Dirut PT Timah, Martiono Hadianto mantan Dirjen Bea Cukai, hingga Karen Agustiawan yang berasal dari perusahaan swasta. Sementara Direktur Utama yang berasal dari orang dalam sebut saja Faisal Abdaoe, Arifi Nawawi dan Ari Sumarno.
Menurut dia, industri migas nasional saat ini terpuruk ditandai dengan sangat rendahnya produksi minyak mentah nasional dan rendahnya kapasitas kilang dalam negeri. Namun hal ini bukan karena figur Dirut yang berasal dari orang luar atau orang dalam, tapi lebih karena Sistem Tata Kelola Migas Nasional saat ini yang salah pasca berlakunya UU Migas No.22/2001.
“UU Migas yang didorong oleh IMF ini telah merubah sistem tata kelola migas nasional sebelumnya dengan melucuti posisi dan peran Pertamina. Padahal sebelum hadirnya UU Migas, dengan UU No.8/1971 Pertamina mewakili negara sebagai pengelola kekayaan migas nasional yang ada di perut bumi dan sebagai Perusahaan Negara yang harus menenuhi kebutuhan BBM sesuai amanat Konstitusi,” paparnya.
“Karena kekayaan migas di perut bumi dikuasai dan dimiliki oleh negara dan BBM termasuk cabang produksi yang penting bagi negara dan memguasai hajat hidup orang banyak,” tambah alumnus Colorado School of Mines dan Institut Francais du Petrole) ini.
Oleh karena itu, kata dia, dengan UU No.8/1971 Pertamina dibentuk sebagai Perusahaan Minyak 100% Milik Negara dengan struktur perusahaan migas yang modern yang paling effisien, terintegrasi bergerak dari hulu hingga hilir (Integrated Oil Company), bukan perusahaan/pengelolaan yang bersifat Unbundling.
Ia mengungkapkan , dengan UU Migas No.22/2001 sistem tata kelola di bawah pasal 33 UUD45 yang simpel dengan pola ‘B2B’ dirubah menjadi sistem yg birokratik dg pola ‘B2G’ dimana Kuasa Pertambangan dioper ke Pemerintah.
“Padahal Sistem dimana pengelola kekayaan migas suatu negara ditangani oleh Perusahaan Migas Nasionalnya, dan itu diterapkan di nyaris semua negara penghasil migas dunia seperti di semua Negara OPEC dan Non OPEC,” tukasnya.
Menurutnya, ada fakta lain juga bahwa UU Migas No.22/2001 sudah cacat hukum karena Mahkamah Konstitusi sudah mencabut 17 pasalnya, dan telah menimbulkan ketidakpastian yang berkepanjangan justru inilah yang menjadi faktor utama keterpurukan industri migas nasional saat ini. “Rendahnya produksi minyak mentah dan rendahnya kapasitas kilang BBM di tengah kebutuhan BBM Impor migas yang sangat besar menjadi penyebab utama yang bersifat kronis dan langgeng (permanen-red) dari defisit perdagangan dan defisit neraca pembayaran, dan penyebab pelemahan nilai rupiah saat ini, siapapun Presidennya.
Meski Komisi VII DPRRI sudah menyelesaikan Konsep Revisi UU Migas No 22/2001 dimana pengelola migas nasional dikembalikan di bawah Badan Usaha Khusus (Perusahaan Migas 100% Milik Negara) yang dibentuk dengan UU. Namun hingga saat ini belum diundangkan karena masih dalam proses di internal DPR RI (Baleg).
“Dalam Rapat Paripurna DPR RI beberapa bulan lalu, saya minta perhatian pimpinan dan seluruh anggota DPR RI agar segera mempercepat proses pembahasan dan pengesahan Revisi UU Migas No.22/2001 yang selain melanggar konstitusi juga lebih banyak bersifat menghambat investasi migas,” pungkasnya. ADI
No comments so far.
Be first to leave comment below.