Home ENERGI Sorgum, Pellet, dan Bioetanol:Catatan di Tepi Ladang yang Tak Pernah Masuk Rencana Pembangunan
ENERGI

Sorgum, Pellet, dan Bioetanol:Catatan di Tepi Ladang yang Tak Pernah Masuk Rencana Pembangunan

Share
Sorgum, Pellet, dan Bioetanol:* Catatan di Tepi Ladang yang Tak Pernah Masuk Rencana Pembangunan
Share

Oleh : Andi N Sommeng

Di sebuah desa yang namanya terlalu sederhana untuk diingat para pejabat, seorang petani menggenggam batang sorgum sambil tersenyum lirih. “Tanaman ini, Pak,” katanya, “ kalau negara mau serius, mungkin bisa jadi lebih berharga dari pidato-pidato transisi energi. ” Saya hanya tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi karena ucapan itu terasa seperti satire paling jujur dalam tiga dekade pembangunan energi di republik ini .

Sorgum — tanaman yang dulu dianggap kelas ekonomi dalam keluarga serealia — kini tiba-tiba didaulat sebagai pahlawan biomassa. Ia tak pernah minta panggung, tak pernah kirim proposal, tak pernah ikut FGD; tetapi, karena negeri ini kehabisan bahan baku co-firing dan masih absen dari peta bioenergi dunia, namanya mendadak dibawa-bawa dalam rapat kabinet dan presentasi powerpoint berwarna hijau.

Kontras dengan nasib tanaman itu, para pengambil kebijakan di kota sibuk menari antara dua metrik sakral: IRR dan NPV. Mereka memperdebatkan ketidakpastian ala Monte Carlo, seolah-olah itu nama penari balet Eropa Timur, bukan simulasi probabilitas yang menentukan apakah petani tersenyum atau kembali menanam padi yang tak lagi menguntungkan.

Sorgum, dalam gaya hidupnya yang hemat air dan hemat keluhan, tumbuh di lahan-lahan yang dilupakan Bappenas. Ia tak peduli apakah CAPEX pabrik pellet mencapai Rp250 miliar atau Rp1,2 triliun untuk pabrik bioetanol. Yang penting baginya hanya dua:

  • Matahari tetap terbit,
  • Pemerintah tidak tiba-tiba mengganti program lima tahunan seperti ganti menteri.

Tapi negeri ini punya bakat unik: mengganti prioritas lebih cepat daripada supporting document disiapkan .

Di tengah semua itu, para investor biomassa memandang sorgum dengan tatapan pragmatis. “Kamu ini bagus, tapi apakah pasar pellet ekspor stabil?”
Ah, semesta biomassa memang aneh: harga pellet digerakkan oleh musim dingin Eropa yang semakin tidak konsisten. Negara ini—yang bahkan tidak tahu rasanya suhu -5°C—ikut pusing memikirkan bagaimana orang Norwegia atau Denmark memanaskan ruang tamunya.

Sementara itu, para ekonom energi sibuk membuat kurva tornado dan histogram IRR. Mereka lupa bahwa di lapangan, petani hanya mengenal satu jenis volatilitas: hujan yang terlambat dan pupuk yang harganya naik duluan sebelum alasan diumumkan.

Pellet dan bioetanol, dua anak kandung dari ambisi energi terbarukan, sama-sama ingin menjadi pahlawan. Pellet ingin mengurangi batubara di PLTU yang tak ingin mati muda; bioetanol ingin mengurangi impor bensin yang sudah lama menjadi kisah asmara bertepuk sebelah tangan antara republik dan pasar global.

Namun keduanya punya satu masalah sama:
Negara ini lebih suka merencanakan masa depan energi dalam slide PowerPoint daripada dalam hektar lahan.

Ada peneliti pernah berkata dalam sebuah forum akademik, “Sorgum adalah tanaman yang menurut asumsi BOKS (Buku Operasi Kebijakan Sektoral) bisa menyelamatkan Indonesia, asalkan semua variabel ekonomi, politik, dan cuaca bersikap kooperatif.”
Seketika peserta tertawa, karena hanya di negeri ini kalimat ilmiah bisa terdengar seperti stand-up comedy.

Namun tawa itu sebenarnya pahit. Kita tersenyum bukan karena harapan, tapi karena kita sudah terlalu lama menertawakan inkonsistensi sendiri.

Monte Carlo, dalam model finansial, membuktikan satu hal sederhana:
Negara membutuhkan probabilitas 70% agar proyek pellet dan bioetanol layak secara ekonomi.
Tapi dalam praktik, kebijakan energi hanya punya probabilitas 40% untuk bertahan lebih dari satu periode anggaran.

Ironis sekali — tanaman dengan akar tipis lebih konsisten daripada kebijakan energi dengan birokrasi berlapis.

Pada akhirnya, sorgum berdiri diam di ladang. Ia tidak berdebat, tidak membuat tes wawasan kebangsaan, tidak ikut konsorsium. Ia hanya tumbuh, seperti biasa. Tahan panas, tahan janji kosong, tahan rapat koordinasi lintas kementerian.

Mungkin itu sebabnya ia cocok jadi feedstock energi Indonesia:
karena ia lebih kuat dari kita dalam menghadapi ketidakpastian.

Saya menutup catatan ini dengan sinis tapi penuh cinta:

Jika saja negara setulus sorgum dalam bertahan hidup di lahan marginal, mungkin transisi energi kita tidak sekering APBN subsidi BBM tahun depan.

|A||N||S|
Dosen-GBUI
Buitenzorg,
22Nopember2025

Verba volant, scripta manent

Share

Leave a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Articles

PLN EPI Gandeng Kemenkop, Ekosistem Biomassa Nasional Siap Tancap Gas

Jakarta, Situsenergi.com PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) kembali tancap gas dalam...

JDS Sukses Lahirkan SDM Unggul Di Sektor Migas, Pertamina Beri Apresiasi

Jakarta, situsenergi.com Jakarta Drilling Society (JDS) sebagai organisasi non-profit ini terus memfasilitasi...

PDSI Genjot Daya Saing dengan Transformasi Knowledge Management yang Lebih Agresif

Jakarta, situsenergi.com PT Pertamina Drilling Services Indonesia (PDSI) terus tancap gas memperkuat...

SubGyro PDSI Bikin Kejutan, Inovasi Keamanan Rig Sabat Gold Award di Taipei

Jakarta, situsenergi.com PT Pertamina Drilling Services Indonesia (PDSI) kembali jadi sorotan setelah...