Home MIGAS MERENUNGKAN ISU PESANAN YANG MENYERANG PERTAMINA DAN KISAH BELL POTTINGER
MIGASOPINI

MERENUNGKAN ISU PESANAN YANG MENYERANG PERTAMINA DAN KISAH BELL POTTINGER

Share
MERENUNGKAN ISU PESANAN YANG MENYERANG PERTAMINA DAN KISAH BELL POTTINGER
Share

Oleh: Denny JA

Dalam perjalanan menuju konferensi dan eksibisi minyak internasional di Abu Dhabi, saya membaca berita dengan judul mencolok:

“Kasus Pertalite Dicampur Etanol, Sejumlah Pakar Tuding Isu Pesanan.”

Berita itu dimuat di KBRN (RRI) pada 31 Oktober 2025.
Isinya menceritakan keresahan publik di Jawa Timur. Motor warga mendadak mogok setelah mengisi Pertalite.

Narasi viral pun dibentuk: Pertamina dianggap mencampur BBM dengan etanol 10 persen.

Berbagai media online menyebarkan berita itu, juga medsos, tanpa check and recheck. Berita menjadi viral dengan pesan negatif untuk brand Pertamina.

Namun, seperti kabut yang perlahan tersingkap, para pakar menegaskan: isu itu tidak benar.

Fahmy Radhi dan Prof. Wahyudi Kumorotomo dari UGM menyebutnya isu pesanan, digerakkan oleh mereka yang terganggu oleh “bersih-bersih” mafia minyak dan gas.

Tak ada bukti ilmiah yang mendukung tudingan itu. Tak ada hasil uji laboratorium yang menunjukkan bahan tersebut memang diambil dari SPBU Pertamina.

Di balik berita yang tampak teknis, tersembunyi pelajaran moral: ketika kebenaran dan kepentingan bertarung di medan digital,
kadang fakta yang sebenarnya sering dikalahkan oleh kebisingan hoax yang disebar secara tergesa, atau sengaja tanpa bukti kuat.

Lembaga pengujian energi nasional, Lemigas (Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi) turun tangan. Mereka melakukan pemeriksaan terhadap BBM jenis Pertalite di berbagai SPBU di wilayah Jawa Timur.

Dari hasil pengujian tersebut, seluruh sampel dinyatakan memenuhi standar mutu yang berlaku.

Menurut Koordinator Pengujian Aplikasi Produk Lemigas, Cahyo Setyo Widodo, sebanyak 16 sampel diperiksa secara menyeluruh, mencakup terminal BBM, truk tangki, hingga SPBU di beberapa lokasi di Jawa Timur.

Isu itu ternyata hoax. Serangan pada brand Pertamina itu ternyata tak berdasar. Tapi kok bisa isu hoax disebar secara sistematis?

-000-

Ingatan saya langsung melayang ke kasus besar di Inggris dan Afrika Selatan: kisah kejatuhan firma PR ternama dunia, Bell Pottinger.

Firma yang seharusnya menjaga reputasi klien justru menjadi perancang manipulasi terbesar dalam sejarah industri komunikasi modern.

Sekitar tahun 2017, Bell Pottinger bekerja untuk Oakbay Investments, perusahaan milik keluarga Gupta. Ia pengusaha kuat yang dituduh mencengkeram kekuasaan politik di Afrika Selatan (state capture).

Untuk membela kliennya, Bell Pottinger menciptakan narasi besar: mereka menyebarkan istilah “white monopoly capital.”

Istilah ini, modal monopoli kulit putih, digunakan untuk mengalihkan kemarahan rakyat dari isu korupsi menuju perpecahan rasial.

Mereka menciptakan blog palsu, akun anonim, dan konten viral yang menyalakan api sentimen sosial.

Dalam hitungan bulan, masyarakat terbelah, dan kepercayaan publik rusak.

Ternyata aneka informasi yang disebar itu hoax untuk menggiring opini dalam rangka pertarungan bisnis.

Keluarga Gupta sendiri bukan kulit putih, melainkan keturunan India yang menetap di Afrika Selatan sejak awal 1990-an.

Mereka membangun konglomerasi besar di sektor media, pertambangan, dan teknologi melalui perusahaan Oakbay Investments, serta dikenal memiliki kedekatan erat dengan Presiden Jacob Zuma.

Ketika berbagai bukti korupsi dan praktik state capture mulai terungkap, Bell Pottinger membelokkan kritik itu menjadi isu rasial.

Itu seolah-olah serangan terhadap keluarga Gupta bukanlah penolakan terhadap korupsi, melainkan bagian dari konspirasi “kapital kulit putih” yang ingin menjatuhkan usaha bisnis yang bukan kulit putih, asal India.

Dari situlah lahir propaganda “white monopoly capital” — narasi palsu yang menukar etika dengan ras, dan kebenaran dengan ilusi.

Ketika kebenaran akhirnya terungkap, Bell Pottinger dihukum oleh Public Relations and Communications Association (PRCA) Inggris.

Klien besar mereka mundur satu per satu. Perusahaan itu akhirnya runtuh, tenggelam oleh kampanye kebohongan yang mereka ciptakan sendiri.

Kisah ini terekam dalam laporan The Guardian dan The New Yorker, dua media besar yang menulisnya dengan nada getir: bagaimana perusahaan PR yang pernah berpengaruh di dunia, mati oleh tangannya sendiri.

-000-

Tiga Kesamaan Antara Kasus Pertamina dan Bell Pottinger

  1. Kepentingan yang Terganggu, lalu Melawan Balik

Di Afrika Selatan, manipulasi Bell Pottinger muncul untuk melindungi kepentingan bisnis keluarga Gupta yang terancam oleh penyelidikan publik.

Di Indonesia, isu hoax tentang “Pertalite dicampur etanol” muncul justru ketika pemerintah dan Pertamina sedang memperkuat transparansi serta memberantas mafia migas.

Keduanya menunjukkan pola yang sama: ketika status quo terguncang, kepentingan lama akan melawan balik, bukan dengan argumen, tapi dengan narasi yang belum terbukti.

-000-

  1. Hoax Sebagai Alat Perang Ekonomi

Bell Pottinger menjual narasi seperti menjual senjata: mereka tahu opini publik dapat dijadikan alat destruktif untuk menghancurkan lawan bisnis.

Begitu pula isu pesanan terhadap Pertamina: ia tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk menanamkan keraguan.

Di era digital, hoax adalah bom yang dilemparkan bukan untuk membunuh tubuh, tetapi untuk melumpuhkan kepercayaan.

-000-

  1. Kebenaran Butuh Waktu, Tapi Pasti Menang

Baik di Aftika Selatan maupun di Jakarta, kebenaran tidak mati, hanya tertunda.

Bell Pottinger akhirnya tumbang karena masyarakat menolak hidup dalam kebohongan.

Dan Pertamina, melalui uji laboratorium, komunikasi terbuka, dan kerja keras, menunjukkan bahwa integritas adalah pertahanan terbaik melawan manipulasi.

Dalam dua kisah itu, yang tersisa di akhir bukan kebohongan, melainkan keyakinan bahwa kejujuran institusional adalah kekuatan moral tertinggi dalam dunia bisnis modern.

-000-

Kita sedang hidup di masa ketika algoritma bisa menciptakan “kebenaran palsu” dalam hitungan jam.

Namun sejarah memberi pelajaran: setiap rekayasa akhirnya roboh oleh kepalsuannya sendiri.

Bell Pottinger adalah simbol kejatuhan moral korporasi yang memilih manipulasi.

Maka Pertamina hari ini harus menjadi simbol kebangkitannya: perusahaan yang tetap berdiri tegak di tengah badai, menjaga kepercayaan rakyat ketika fitnah mencoba menodainya.

Pertamina bukan sekadar badan usaha; ia adalah urat nadi bangsa, penghubung antara energi dan kedaulatan.

Serangan mungkin datang, tapi selama ia berpihak pada transparansi dan integritas,
kebohongan sebesar apa pun akan runtuh seperti rumah kartu.

Karena dalam perang antara hoax dan kebenaran,
yang bertahan bukanlah mereka yang paling nyaring,
melainkan mereka yang benar.

Dalam era kecepatan informasi, reputasi korporasi tidak hanya ditentukan oleh kinerja teknis, tetapi juga oleh kemampuan mengelola narasi publik secara jujur dan cerdas.

Ketika kepercayaan menjadi modal strategis, perusahaan energi seperti Pertamina harus memadukan transparansi data, kesiapan komunikasi krisis, serta partisipasi sosial yang konsisten membangun kredibilitas jangka panjang.

Ini juga pelajaran untuk pertamina. “Maka, langkah strategis wajib diambil: Pertamina perlu membangun pusat krisis digital yang merespons hoax secara real-time!!

Pertamina perlu kolaborasi dengan public relation dari komunitas sipil, lembaga riset, juga audit produk secara berkala.

Kepercayaan publik tak bisa menunggu kebenaran terlambat; ia harus dibentuk secara aktif sebelum badai fitnah datang.”

“Pelaku hoax di era digital sering kali memantaatkan celah psikologis masyarakat: kebutuhan akan kepastian dalam ketidakpastian.

Pertamina perlu memetakan aktor-aktor bayangan (shadow actors) yang diuntungkan dari krisis kepercayaan, baik kompetitor bisnis maupun kelompok politik tertentu.”

Pertamina memang pernah tercoreng akibat korupsi para oknumnya. Tapi untuk kasus di atas, para pakar mencium adanya narasi pesanan, yang terus berupaya, memburuk- burukkan brand Pertamina.

Ini sebuah upaya berbahaya, yang dapat menghalangi trust publik agar Pertamina semakin cepat membawa Indonesia menuju kemandirian energi.*

(Di atas pesawat menuju Abu Dhabi, 2 November 2025)

REFERENSI

1.  The Guardian, “Bell Pottinger expelled from PR trade body after South Africa racism row,” 4 September 2017.

2.  The New Yorker, “The Reputation-Laundering Firm That Ruined Its Own Reputation,” 25 Juni 2018.

-000-

*tulisan Denny JA dikutip dari fb ybs dan juga pesan berantai yg diterima redaksi.

Share

Leave a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Articles

Pertamina Patra Niaga Tuntaskan 57% Keluhan BBM di Jawa Timur, Kompensasi Diberikan Tepat Sasaran

Jakarta, situsenergi.com Pertamina Patra Niaga bergerak cepat menangani keluhan pelanggan terkait kualitas...

Ekspor Migas Tertekan, Periode Januari–September 2025 Defisit USD13,71 Miliar

Jakarta, situsenergi.com Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kinerja ekspor komoditas minyak dan...

Pertamina Patra Niaga Sulawesi Gandeng Petani Perempuan Wujudkan Kemandirian Pangan

Maros, Situsenergi.com Semangat pagi terasa di Desa Baji Mangngai, Kabupaten Maros, saat...

PGN Catat Kinerja Cemerlang di Triwulan III 2025, Pendapatan Tembus USD 2,9 Miliar!

Jakarta, situsenergi.com PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), Subholding Gas Pertamina, terus...