oleh : Prof Dr Ir Andi N Sommeng DEA
Harga BBM adalah angka yang selalu punya gema. Di papan SPBU, ia tampil sederhana. Tapi di baliknya ada cerita panjang: tentang subsidi, fiskal, kontrak sosial, dan tentang bagaimana dua BUMN migas—Pertamina dan Petronas— memahami tanggung jawab sosial dengan cara yang berbeda.
Di Malaysia, harga RON95 dijaga murah. Subsidi ditanggung negara, dibiayai surplus Petronas yang terintegrasi dan efisien. Petronas menjalankan tanggung jawab sosial dengan cara yang lebih struktural: menyalurkan dividen besar ke kas negara, membiayai pendidikan melalui Petronas University of Technology, menyokong riset energi, bahkan menjadi simbol nasionalisme ekonomi Malaysia. CSR mereka bukan hanya membangun sekolah atau fasilitas umum, tapi menjelma menjadi stabilitas harga energi itu sendiri. Petronas menempatkan rakyat sebagai penerima manfaat langsung dari surplus minyak.

Pertamina berbeda. Tanggung jawab sosialnya sering hadir dalam bentuk program-program sporadis: bantuan bencana, beasiswa, pembangunan desa energi. Namun, tanggung jawab sosial terbesar yang dipikul Pertamina justru datang dari mandat negara: menjual BBM lebih murah dari harga keekonomian. Ia menanggung kompensasi, sering dengan pembayaran yang terlambat dari pemerintah. Pertamina, tubuh tambun itu, harus mencari untung, tapi juga dipaksa menjadi penyangga fiskal dan politik. CSR-nya kerap tampak seperti “tambalan” di luar beban utama yang berat.
Perbedaan ini mencerminkan kontrak sosial yang tak sama. Malaysia menjadikan Petronas alat distribusi surplus, sebuah instrumen legitimasi politik. Indonesia menjadikan Pertamina sebagai alat peredam gejolak, sering kali dengan menunda haknya.
Nietzsche mungkin benar ketika menyebut negara sebagai “monster paling dingin.” Pertamina merasakannya: diminta terus menjaga harga agar rakyat tak marah, tapi kompensasi yang dijanjikan negara sering datang terlambat. Sementara Petronas lebih mirip instrumen disiplin fiskal yang diberi ruang untuk bernafas—dan karena itu bisa menyalurkan manfaatnya ke rakyat.
Maka, harga BBM di Malaysia dan Indonesia adalah cermin yang memantulkan bukan hanya pilihan fiskal, tetapi juga cara dua BUMN besar itu menafsirkan tanggung jawab sosial. Di sana, CSR adalah harga bensin murah. Di sini, CSR adalah beban tambahan di atas tangki yang sudah penuh tekanan.
Dan ketika kita berdiri di pompa, melihat angka berlari di layar, kita membaca bukan hanya wajah negara, tetapi juga wajah dua BUMN: Petronas yang memberi surplus, Pertamina yang meminta pengertian.[]
|A||N||S|
Dosen-GBUI
Buitenzorg,
28September2025
Verba volant, scripta manent
Leave a comment