Home LISTRIK Plus Minus Dominasi IPP dalam RUPTL 2025-2034
LISTRIKOPINI

Plus Minus Dominasi IPP dalam RUPTL 2025-2034

Share
Share

Oleh : M. Kholid Syeirazi
Center for Energy Policy

RUPTL 2025-2034 merencanakan tambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 GW, dengan porsi 50,7 GW (72,9%) oleh IPP (Independent Power Producers) dan 20,4 GW (29,3%) oleh PLN.

Dominasi IPP mengandung plus-minus. Plus-nya, di tengah keterbatasan fiskal perusahaan, PLN tidak perlu menanggung biaya investasi awal yang sangat besar. Diperkirakan kebutuhan investasi pembangkit dan infrastrukturnya mencapai Rp2.967 triliun. Ini tidak mungkin disediakan negara atau oleh PLN sendiri. Keterlibatan IPP mengurangi potensi tambahan beban utang negara. Selain itu, risiko delay proyek dan cost overrun beralih dari PLN ke IPP. IPP juga dapat mempercepat bauran EBT dalam pembangkit yang porsinya 76% dalam RUPTL 2025-2034.

Namun, minusnya adalah kendali infrastruktur listrik beralih dari negara ke swasta yang berdampak pada kenaikan tarif listrik dan beban take or pay (ToP) yang meningkat. Selama ini, karena proyeksi demand listrik meleset, kapasitas pembangkit idle ditanggung PLN yang menggerus fiskal perusahaan.

Di tengah arus liberalisasi dan dominasi IPP yang problematis, yang perlu dilakukan adalah mengubah skema PPA (power purchase agreement). Selama ini, pasar tenaga listrik dikelola dengan skema MBSS (Multi-Buyers Single Sellers). Produksi listrik disediakan oleh banyak operator, tetapi pembelinya tunggal, yaitu PLN. Hanya PLN yang berhak menjual langsung listrik ke pelanggan. Masalahnya, PLN terikat dengan skema ToP: PLN harus menyerap atau membayar pembangkit ‘tidur’ yang setrumnya tidak terserap. Ini merugikan PLN karena demand listrik tidak tumbuh sejalan dengan tambahan kapasitas pembangkit.

PLN perlu melakukan renogisiasi ToP dengan skema win-win, misalnya dengan skema flexible ToP (hanya jumlah tertentu wajib bayar listrik tak terpakai), hybrid ToP (kombinasi ToP dan TAP/bayar sesuai listrik yang dipakai). Bisa juga ToP disesuaikan dengan reserve margin (Indexed to System Demand). Jika PLN oversupply, ToP turun, jika defisit, ToP naik. Jika skema B2B gagal, Pemerintah masuk dengah sharing beban, misalnya dengan menanggung sebagian risiko melalui insentif pajak PLN, subsidi bunga, atau viability gap funding (VGF). Tanpa renegosiasi ToP, dominasi IPP bisa menjadi bencana bagi PLN. [•]

Share

Leave a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Articles

PLN Ubah Limbah Jagung Jadi Listrik, Petani Tuban Kini Raup Untung

Tuban, situsenergi.com Petani jagung di Tuban, Jawa Timur kini merasakan dampak positif...

PLN Ingatkan Rekrutmen 2025 Gratis, Masyarakat Diminta Waspada Penipuan

Jakarta, situsenergi.com PT PLN (Persero) mengimbau masyarakat untuk lebih waspada terhadap praktik...

PLN Bangun PLTS Terapung 92 MWp di Waduk Saguling, Perkuat Transisi Energi Bersih

Bandung, Situsenergi.com PT PLN (Persero) melalui subholding PLN Indonesia Power resmi memulai...

Hari Pertama, Rekrutmen Nasional PLN Group 2025 Diserbu Puluhan Ribu Pelamar

Jakarta, Situsenergi.com Rekrutmen Nasional PT PLN (Persero) Group 2025 langsung mencuri perhatian...