Jakarta, Situsenergi.com
Apakah kebijakan privatisasi PLN benar-benar mulai digulirkan lewat RUPTL 2025–2034? Pertanyaan ini mencuat setelah dokumen resmi tersebut menunjukkan 73 persen pembangunan pembangkit listrik justru diprioritaskan untuk Independent Power Producer (IPP).
RUPTL Dinilai Jadi Jalan Sunyi Privatisasi
Seperti dilansir dari dokumen RUPTL 2025–2034, mayoritas proyek pembangkit listrik memang dialokasikan ke swasta. Kondisi ini memicu tudingan serius dari Serikat Pekerja PLN bahwa pemerintah tengah membuka jalan privatisasi secara terselubung.
Menanggapi hal ini, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi, menilai klaim yang disampaikan serikat pekerja cukup beralasan.
“Jika melihat komposisinya seperti itu, yakni 73 persen untuk IPP, maka klaim adanya isu privatisasi oleh SP PLN menjadi rasional dan ada benarnya, karena dominan justru untuk IPP,” ujar Tulus pada Rabu (27/8/2025).
Bertentangan dengan Putusan MK
Menurut Tulus, porsi IPP yang terlalu besar berpotensi bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan sektor listrik tidak boleh diswastakan.

Ia menegaskan, kecuali jika proporsi pembangunan pembangkit antara PLN dan IPP bisa dibalik, maka dugaan privatisasi dapat ditepis. Namun dengan komposisi saat ini, publik wajar curiga bahwa RUPTL menjadi pintu masuk privatisasi.
“Hal ini bisa menjadi bertentangan dengan putusan MK. Kecuali porsinya untuk IPP sebaliknya. Oleh sebab itu RUPTL 2025–2034 menjadi sinyal kuat untuk mengusung kembali kebijakan privatisasi,” tambahnya.
Desakan Revisi RUPTL
Untuk meredam tudingan tersebut, FKBI mendesak agar RUPTL 2025–2034 segera direvisi. Tulus menegaskan revisi signifikan mutlak diperlukan agar porsi pembangkit listrik lebih berimbang dan tidak menimbulkan polemik berkepanjangan.
“Maka untuk menghindari tudingan itu, RUPTL 2025–2034 mesti direvisi secara signifikan,” tegas Tulus.
Konsumen dan Publik Perlu Transparansi
Isu privatisasi PLN bukan sekadar polemik antara manajemen dan serikat pekerja. Bagi konsumen, kepastian tarif listrik dan kedaulatan energi nasional juga dipertaruhkan. Karena itu, menurut Tulus, pemerintah perlu membuka ruang transparansi lebih luas dalam menyusun kebijakan strategis seperti RUPTL.
Dengan begitu, publik bisa menilai apakah benar kebijakan tersebut hanya mendorong swasta, atau tetap menempatkan PLN sebagai tulang punggung ketenagalistrikan nasional. (GIT)
Leave a comment